Kategori Berita
Media Network
Senin, 13 SEPTEMBER 2021 • 08:26 WIB

Tak Ada Nama Jalan Gajah Mada di Bandung: Dampak Sentimen Sunda-Jawa dari Perang Bubat

Ilustrasi Gajah Mada dna perang Bubat. (Istimewa).

Bila berkunjung ke Bandung, sudah pasti kalian tidak akan pernah menemui nama jalan Gajah Mada, mahapatih tersohor dari Majapahit. Hal itu ternyata merupakan bagian sejarah kelam hubungan masa lalu yang sentimennya juga merusak hubungan antara orang Sunda dan Jawa.

Semuanya bermuara ke Perang Bubat, perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada masa waktu seratus tahun ke-14, yaitu di masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Akibat sebuah ambisi dan kesalahpahaman, sebuah insiden pun membekas yang terjadi sampai saat ini.

Meski tidak ada satupun prasasti yang mengungkapkan apakah kejadian ini adalah bagian sejarah atau mitos, namun masyarakat terlanjur percaya dengan semua cerita yang sudah turun temurun tersebut.

Rencana Pernikahan

Mengutip Wikipedia, Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang mau memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. 

Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh Danasasmita serta Naskah Perang Bubat oleh Yoseph Iskandar, niat pernikahan itu yaitu untuk memperketat tali persaudaraan yang telah lama putus selang Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang dijadikan pendiri kerajaan Majapahit diasumsikan keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. 

Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan untuk Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka.

 Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. 

Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah hadir dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditaruh di Pesanggrahan Bubat.

Baca Juga: Misteri Sosok Pria di Foto Tragis The Falling Man saat Serangan 9/11

Gajah Mada Berulah.

Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diikuti sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada mau memenuhi Sumpah Palapa yang dihasilkannya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, karena dari bermacam kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum ditinggali.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat pendapat oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat yaitu bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda untuk Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. 

Ilustrasi perang buba. (Istimewa)

Kemudian terjadi insiden perselisihan selang utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang selang Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah akbar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam lawatan itu. 

Peristiwa itu kesudahannya dengan gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda. Raja Sunda beserta segenap pejabat kerajaan Sunda bisa didatangkan di Majapahit dan binasa di lapangan Bubat.

Putri Dyah Pitaloka bunuh diri.

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melaksanakan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Perbuatan itu diharapkan bisa membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi probabilitas dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Tradisi menyebutkan bahwa Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka. 
Dampak peristiwa Bubat ini, dituturkan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada dijadikan renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya diasumsikan ceroboh dan gegabah. 

Dia diasumsikan terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan hasrat dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). 

Walaupun tindakan ini nampak sebagai penganugerahan, tindakan ini bisa ditafsirkan sebagai ajakan halus supaya Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik kenegaraan istana Majapahit. 

Baca Juga: Misteri Sosok Pria di Foto Tragis The Falling Man saat Serangan 9/11

Patung Gajah Mada (Instagram/ baka.neko.baka)

Dampak.

Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua negara dan terus berlaku hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.

 Pangeran Niskalawastu Kancana — saudara kandung yang lebih muda Putri Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena waktu itu masih terlalu kecil — dijadikan satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta dijadikan Prabu Niskalawastu Kancana. 

Kebijakannya ditengahnya memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan melaksanakan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Dampak peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang intinya ditengahnya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau beberapa lagi menyebut tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan semakin lapang sebagai larangan untuk orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melaksanakan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan diasumsikan sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berfaedah pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda untuk Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian mengembang dijadikan semacam rasa persaingan dan permusuhan selang suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. 

Selang lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat kebiasaan Sunda, tidak ditemukan jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Walaupun Gajah Mada diasumsikan sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas dampak tindakannya yang diasumsikan tidak terpuji dalam tragedi ini.

Alat pecah belah.

Dalam konteks kolonial Belanda, permusuhan kedua etnis ini tampaknya sengaja dipelihara sebagai bagian dari politik pecah belah (devide et impera). Kidung Sundayana yang memuat kisah Pasunda Bubat masuk dalam pelajaran di sekolah-sekolah Belanda di Jabar.

Konflik ini sengaja terus dikipas-kipas oleh Belanda. Padahal sebagai sebuah sejarah, akurasinya perlu dipertanyakan, penuh bias, karena bercampur mitos. Jarak antara serat Pararaton (1474 M) yang menjadi rujukan kidung Sundayana, sangat jauh dengan peristiwa Perang Bubat, sekitar 117 tahun. Tidak ada prasasti sebagai sumber otentik yang bisa menjadi rujukan.

Artikel Menarik Lainnya:

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

BERITA TERBARU

Tak Ada Nama Jalan Gajah Mada di Bandung: Dampak Sentimen Sunda-Jawa dari Perang Bubat

Link berhasil disalin!