Minggu, 17 NOVEMBER 2024 • 20:05 WIB

Menguak Tradisi "Buang Anak": Ritual Unik untuk Menghindari Musibah dalam Budaya Jawa 

Author

Ilustrasi bayi baru lahir. (freepik)

INDOZONE.ID - Tradisi "Buang Anak" dalam budaya Jawa, bukan berarti membuang bayi begitu saja, melainkan sebatas simbolik.

Tradisi ini dilakukan kalau bayi lahir dengan weton (hari kelahiran) yang sama dengan salah satu anggota keluarga, seperti orang tua. 

Ilustrasi bayi. (Freepik)

Apa yang dimaksud dengan weton? Weton adalah semacam perhitungan khusus berdasarkan hari dan pasaran (misalnya Legi, Pahing, Pon, dan sebagainya). 

Dalam budaya Jawa, weton dipercaya bisa mempengaruhi hidup seseorang, termasuk nasib dan hubungan mereka. 

Kalau bayi lahir dengan weton yang sama dengan orang tua, ada kepercayaan kalau itu bisa membawa masalah atau kesialan, terutama dalam hubungan antara orang tua dan anak.

Baca Juga: Tradisi Tabot, Ritual Menara Masjid yang Sarat Makna dan Simbol dari Bengkulu

Nah, supaya hal buruk tidak terjadi, dilakukanlah ritual simbolis. Ritual ini dilakukan dengan bayi akan diletakkan sebentar di luar rumah, lalu diambil kembali oleh orang uta atau tetangga.

Tujuan dari ritual ini tidak untuk membuang bayi, tapi untuk "menghindari" kemungkinan masalah di masa depan. 

Meskipun disebut "buang anak", sebenarnya itu adalah cara untuk melindungi bayi dan keluarga dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Pelaksanaan Ritual

Ritual ini dilakukan dibantu dukun bayi. Biasanya, peran dari dukun bayi sekarang ini yaitu pasca melahirkan atau membantu merawat bayi yang baru lahir. 

Mereka memiliki peran penting dalam memastikan, bahwa prosesnya berjalan sesuai dengan tradisi dan keyakinan masyarakat. Selanjutnya, bayi yang telah diletakkan di sekitar luar rumah, telah ditunggu oleh kerabat maupun tetangga. 

Mereka sudah memahami, bahwa ini adalah bagian dari tradisi dan siap untuk mengambil alih peran orang tua kedua. Ini bukan tindakan sembarangan, melainkan bagian dari ritual yang dimaksudkan untuk membuang sial. 

Setelah "ditemukan" oleh kerabat atau tetangga, bayi akan dibawa kembali masuk ke dalam rumah. Bayi tersebut pun akan dikembalikan ke orang tua kandungnya. 

Proses ini menandakan, bahwa bayi tersebut sudah "selamat" dari potensi kesialan dan siap untuk kembali hidup normal bersama keluarga. 

Ini merupakan bagian dari ritual yang menunjukkan, bahwa bayi tersebut tidak benar-benar dibuang, tetapi ditemukan dan diselamatkan.

Setelah anak tersebut tumbuh menjadi remaja atau dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, mereka harus dikembalikan lagi ke orang tua kandungnya. 

Baca Juga: Mangulosi: Tradisi Penuh Kasih Sayang Khas Suku Batak yang Sarat Makna

Orang yang dulu menemukan dan merawat bayi tersebut, punya kewajiban untuk memberikan sesuatu, seperti hadiah atau tanda terima kasih, ketika sang anak sudah melewati momen penting dalam hidupnya, seperti khitan (untuk laki-laki) atau menikah (untuk perempuan).

Saat orang tua kandung ingin mengambil anak mereka kembali dari orang tua kedua yang dulu menemukannya, mereka biasanya membawa makanan atau barang sebagai bentuk penghargaan. 

Dalam bahasa masyarakat setempat, hal ini disebut "munjung", yang artinya membawa sesuatu untuk diberikan kepada orang tua kedua (orang yang dulu menemukannya). Ini merupakan tanda terima kasih, hormat, hingga bertujuan untuk menjaga hubungan baik antara kedua pihak.

Tradisi ini dianggap sebagai cara untuk mencari keselamatan dan menghindari masalah yang bisa muncul di kemudian hari.


Banner Z Creators Undip.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Jurnal Solidarity