Senin, 07 APRIL 2025 • 18:20 WIB

ELS di Hindia Belanda, Sekolah Kaum Elite atau Alat Kolonialisme?

Author

Europeesche Lagere School (ELS) Batavia.

INDOZONE.ID - Europeesche Lagere School (ELS) berdiri di Hindia Belanda sebagai sekolah dasar berbahasa Belanda yang eksklusif. 

Pemerintah kolonial menetapkan sekolah ini bagi anak-anak keturunan Eropa dan segelintir pribumi dari kalangan elite. 

Kurikulum yang diterapkan meniru sistem pendidikan di Belanda, tanpa mempertimbangkan kebutuhan lokal. 

Sistem pendidikan ini menciptakan kesenjangan sosial yang semakin melebar di masyarakat Hindia Belanda.

Tujuan dan Peran ELS di Hindia Belanda

Pemerintah kolonial mendirikan Europeesche Lagere School (ELS) untuk menciptakan kelas elite yang mampu menopang administrasi kolonial di Hindia Belanda. 

Sekolah ini memberikan pendidikan berkualitas tinggi sesuai dengan standar Eropa.

Lulusan ELS mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan ke Belanda, atau sekolah menengah seperti Hoogere Burgerschool (HBS) di Hindia Belanda. 

Pemerintah kolonial membatasi akses pendidikan ini hanya bagi anak-anak dari keluarga elite, agar tercipta kelompok masyarakat yang loyal terhadap kepentingan Belanda.

Baca Juga: Antara Iman dan Kolonialisme: Pelayanan Zending di Hindia Belanda Abad ke-19

Kebijakan diskriminatif diterapkan dalam penerimaan siswa di ELS. Anak-anak pribumi harus berasal dari keluarga bangsawan atau pejabat tinggi untuk dapat mengakses pendidikan ini. 

Syarat penguasaan bahasa Belanda sejak dini menjadi hambatan utama bagi sebagian besar anak pribumi. 

Mayoritas masyarakat pribumi hanya memperoleh pendidikan di sekolah rakyat (volksschool) dengan kurikulum terbatas. 

Sistem ini memperkuat kesenjangan sosial, serta memastikan kelompok pribumi tetap berada dalam lapisan bawah masyarakat kolonial.

Pemerintah kolonial menggunakan sistem pendidikan sebagai alat kontrol sosial. Keterbatasan akses pendidikan bagi pribumi memastikan dominasi Belanda dalam birokrasi dan perekonomian. 

Stratifikasi sosial semakin mengakar, karena hanya kelompok tertentu yang memiliki kesempatan mengisi posisi strategis dalam pemerintahan kolonial. 

Kondisi ini meninggalkan warisan ketimpangan yang terus dirasakan dalam berbagai aspek kehidupan setelah kolonialisme berakhir.

ELS dan Kurikulum Pendidikan Kolonial

ELS menerapkan kurikulum berbasis pendidikan Eropa untuk membentuk siswa sesuai dengan standar akademik Belanda. 

Bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar dalam seluruh mata pelajaran. Siswa mempelajari ilmu eksakta, sastra, dan sejarah Eropa dengan pendekatan yang menekankan perspektif kolonial. 

Pemerintah kolonial mengabaikan pengetahuan lokal dalam sistem pendidikan ini agar siswa tidak terpapar nilai-nilai budaya pribumi yang dianggap bertentangan dengan kepentingan kolonial.

Sistem pendidikan di ELS tidak hanya membentuk siswa secara akademik, tetapi juga mengubah cara mereka memahami identitas dan budaya. 

Anak-anak pribumi yang bersekolah di ELS mengalami pergeseran nilai karena terbiasa dengan budaya Belanda sejak dini. 

Gaya hidup mereka mengikuti pola masyarakat Eropa yang berbeda dengan kebiasaan masyarakat pribumi. 

Lingkungan sekolah mendorong mereka untuk mengadopsi cara berpikir kolonial yang menekankan rasionalitas Barat dan mengesampingkan kearifan lokal.

Pendidikan di ELS menciptakan kelompok elite intelektual yang memiliki hubungan lebih erat dengan sistem kolonial daripada dengan rakyat biasa.

Baca Juga: Kebudayaan Indis, Perpaduan Unik Budaya Barat dan Lokal yang Bentuk Gaya Hidup Hindia-Belanda

Kelompok ini mendapatkan posisi strategis dalam pemerintahan dan dunia usaha berkat latar belakang pendidikan mereka. 

Pemerintah kolonial menggunakan mereka sebagai perantara dalam menjalankan administrasi di Hindia Belanda. 

Ketimpangan sosial semakin menguat karena hanya segelintir pribumi yang memperoleh akses ke pendidikan ini.

Dampak ELS terhadap Masyarakat Pribumi

Sistem pendidikan ELS menciptakan kelompok elite pribumi yang memiliki akses lebih baik dalam pemerintahan kolonial. 

Kurikulum berbasis pendidikan Eropa membentuk lulusan dengan keterampilan administrasi dan pola pikir rasional yang sesuai dengan kepentingan kolonial. 

Beberapa lulusan ELS kemudian menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan Hindia Belanda.

Posisi strategis mereka dalam administrasi kolonial memperkuat peran elite pribumi dalam struktur sosial yang telah terbentuk.

Gerakan nasionalisme berkembang dengan pengaruh dari pendidikan di ELS. Beberapa lulusan ELS mulai mengkritik sistem kolonial setelah memahami ketimpangan yang terjadi. 

Pemikiran kritis mereka berkembang karena paparan terhadap ilmu pengetahuan dan sistem pendidikan Eropa. 

Ki Hajar Dewantara termasuk salah satu tokoh yang menentang kebijakan pendidikan kolonial dengan mendirikan Taman Siswa. 

Sistem pendidikan alternatif ini bertujuan memberikan akses pendidikan bagi rakyat pribumi tanpa diskriminasi sosial.

Kesenjangan pendidikan akibat sistem ELS masih berdampak pada sistem pendidikan di Indonesia saat ini. 

Akses terhadap pendidikan berkualitas lebih mudah diperoleh oleh mereka yang berasal dari keluarga mampu. 

Sekolah dengan kurikulum terbaik seringkali hanya dapat diakses oleh kelompok ekonomi atas. 

Ketimpangan ini menjadi tantangan bagi sistem pendidikan nasional, dalam mencapai pemerataan dan keadilan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Banner Z Creators Undip.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Journal Unnes