Jumat, 03 MEI 2024 • 10:03 WIB

Fakta Pernikahan Terlarang di Hindia Belanda: Wanita Pribumi Bisa Kehilangan Haknya Bahkan Disebut Tidak Bermoral

Author

Pasangan berbeda ras di zaman Hindia Belanda.

INDOZONE.ID - Di masa lampau Hindia Belanda, pernikahan menjadi persoalan yang rumit, jika menyoroti perbedaan ras dan kelas yang mempengaruhi cara masyarakat berinteraksi. Ini merupakan sorotan penting dalam sejarah, menunjukkan kehidupan yang penuh dengan perselisihan dan tegang.

Dilansir dari jurnal internasional berjudul Herinneringen aan het Indische spoor, pada abad ke-19, di Hindia Belanda, terdapat campuran budaya Indis (hasil campuran kebudayaan Indonesia dan Eropa yang didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda).

Baca Juga: Mengenal Sistem Birokrasi Pemerintahan Hindia Belanda pada Abad ke-19

Ini terjadi karena hubungan antara pria kulit putih dengan wanita pribumi, baik melalui perkawinan maupun hubungan tidak resmi. Wanita pribumi ini, yang disebut njai (sebutan umum di Jawa Barat, khususnya bagi wanita dewasa), sering diabaikan dalam sejarah, mencerminkan ketegangan sosial yang dalam.

Awal Aturan Pernikahan Campuran

Seorang Belanda yang memiliki istri pribumi.

Pada tahun 1989, aturan perkawinan campuran menunjukkan kompleksitas hubungan ras dan kelas di Hindia Belanda. Aturan ini memberikan status Eropa kepada njai yang menikah dengan pria Belanda.

Tetapi, ketegangan masih ada, terutama di antara anggota keluarga yang memiliki pandangan berbeda tentang njai.

Ketika wanita Belanda mulai hadir di Hindia Belanda pada awal abad ke-20, perbedaan ras dan kelas semakin jelas. Wanita Barat yang menikahi pemimpin kolonial memperkuat budaya Indis, sementara kesenjangan sosial antara orang Eropa dan penduduk asli semakin lebar.

Baca Juga: Viral Pengantin Banjar Kesurupan Roh Leluhur saat Resepsi Pernikahan

Pernikahan campuran, meskipun diterima, juga menciptakan kebingungan hukum dan identitas rasial.

Perubahan ini terjadi secara perlahan, dengan anak-anak dari pernikahan campuran, disebut Eurasia, diberikan status Eropa. Tetapi, status sosial masih dipengaruhi oleh hubungan keluarga dan kekayaan, bukan hanya warna kulit.

Konstruksi hukum dan sosial menciptakan situasi kompleks, di mana identitas ras dan kelas tidak selalu sejalan.

Memicu Konflik dan Disebut Tidak Bermoral

Para perempuan lokal di Sumedang yang berhubungan dengan serdadu Belanda.

Pernikahan campuran juga menyebabkan konflik dalam masyarakat Hindia Belanda. Wanita pribumi yang menikah sebelum pencatatan resmi oleh pemerintah Belanda bisa kehilangan hak-hak properti mereka.

Selain itu, identitas ras dan kelas anak-anak dari pernikahan campuran sering menjadi subjek perdebatan, menunjukkan kompleksitas dalam menentukan status sosial dan identitas.

Kesulitan ini tercermin dalam berbagai pandangan di masyarakat Hindia Belanda. Beberapa menganggap pernikahan campuran sebagai tindakan tidak bermoral, sementara yang lain melihatnya sebagai bagian dari perubahan sosial.

Debat tentang identitas ras dan kelas mencerminkan kebingungan dan ketidakjelasan dalam dinamika sosial kolonial.

Dalam konteks ini, pernikahan ilegal di Hindia Belanda mengungkapkan ketegangan antara ras dan kelas, serta kompleksitas dalam menentukan identitas sosial.

Fenomena ini mencerminkan dinamika sosial yang rumit dan seringkali dipenuhi dengan konflik dalam masyarakat kolonial.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Jurnal Internasional