INDOZONE.ID - Buat kalian semua yang baru saja menyaksikan cerita terbaru Joko Anwar berjudul 'Nightmares and Daydreams' di Netflix, mungkin mendengar ustilah Argartha yang dikaitkan dengan teori bumi yang berongga.
Meski dalam penelitian umum, ada yang mengatakan bila bumi bulat yang padat, ada sekelompok orang yang percaya dengan pemahaman mereka tentang bentuk Bumi yang "sesungguhnya", yaitu teori Hollow Earth atau Bumi kopong, dan peradaban yang berada di dalamnya.
Hollow Earth adalah sebutan bagi teori yang menyebutkan bahwa Bumi yang kita tinggali ini memiliki bentuk berongga. Menurut teori konspirasi terkait Bumi kopong ini, diduga terdapat sebuah kerajaan yang ditempati oleh makhluk-makhluk mitologi dan manusia yang sangat sempurna. Kerajaan tersebut bernama Agartha.
Baca Juga: 4 Teori Konspirasi Populer tentang Piramida Mesir, Salah Satunya Dibangun oleh Alien
Tentang Agartha
Agartha adalah sebuah peradaban yang berada jauh di dalam perut bumi. Dalam kepercayaan Hindu, kota ini juga dikenal dengan nama Agartta, Agharti, atau Agarta yang dikaitkan dengan Shambala, sebuah kerajaan kuno yang merupakan tempat kelahiran dari seorang Wisnu terakhir yang akan datang di akhir zaman. Nama Wisnu tersebut adalah Kalki.
Shambala menurut umat Hindu, dikenal sebagai Aryavartha atau tanah bagi orang-orang suci dan berharga. Dengan kata lain, Aryavartha juga bisa diartikan sebagai tanah parah dewa.
Sebagian orang percaya bahwa kota Agartha dihuni oleh ratusan ribu bahkan jutaan penduduk. Konon katanya, peradaban bangsa Agartha jauh lebih maju dibanding peradaban di muka Bumi.
Para penghuninya digambarkan memiliki wujud fisik yang sama seperti manusia pada umumnya, tetapi penampilannya sangat sempurna dan memiliki ilmu yang tinggi. Dari segi lingkungannya, kekayaan alam bangsa ini sangat berlimpah, udaranya sejuk, nyaman, bersih dan lingkungannya aman. Mereka sengaja mengunci diri mereka agar mereka mendapatkan kehidupan yang kekal dan abadi.
Filsuf ternama Yunani, yaitu Plato, menyebut bahwa ada sebuah tempat di dalam Bumi yang bisa diakses melalui terowongan rahasia. Terowongan ini menghubungkan empat sudut mata angin Bumi dan diyakini sebagai akses menuju Agartha.
Legenda tentang Agartha ini pertama kali dicetus oleh seorang okultis asal Perancis bernama Alexandre Saint-Yves D’ Alveydre lewat bukunya yang bertajuk "Mission de I’Inde en Europe". Dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1886 itu, disebutkan berbagai kesaksian yang memperkuat eksistensi bangsa Agartha. Bukti soal eksistensi Agartha juga dikonfirmasi oleh seorang penjelajah asal Polandia bernama Ferdynand Ossendowski lewat bukunya yang dirilis pada tahun 1922 berjudul "Beasts, Men and Gods".
Dunia tersembunyi ini dapat diakses oleh semua umat manusia. Menurutnya, bangsa ini tinggal di dalam gua yang sangat jauh di bawah tanah serta bisa berkomunikasi kepada masyarakat menggunakan ‘telepati’.
Pada awalnya, bangsa Agartha ini adalah penguasa di permukaan bumi, mereka disingkirikan ke dalam ruang perut bumi pada akhir zaman Kaliuga, tepatnya di tahun 3.200 SM.
Pendapat Mitologi dan Teori
Sejak zaman dahulu kala, kisah mengenai kehidupan di dalam inti Bumi sering dianggap sebagai asal mula pemahaman alam akhirat oleh sejumlah mitologi dunia, seperti Yunani, Nordik, Tibet dan sebagainya.
Baca Juga: Kisah Legenda Yggdrasil, Jembatan Kosmik Penghubung Sembilan Dunia
Menurut mitologi Yunani, Mesopotamia dan Kelt, ada sebuah Gua atau terowongan rahasia yang konon katanya merupakan akses menuju peradaban di dalam Bumi. Sementara dalam mitologi umat Hindu, mereka menamakan kehidupan di dalam permukaan Bumi dengan nama Patala.
Dalam kisah Ramayana, dunia alam bawah sempat disinggung di dalamnya. Diceritakan Dewa Rama dan Dewa Lakshmana pernah diceritakan bertempur melawan Raja Ahiravan, penguasa alam bawah dan saudara dari Rahwana. Para Dewa itu berhasil kabur dari alam bawah berkat pertolongan Hanoman.
Beberapa kepercayaan suku lain di dunia juga sempat menyinggung soal eksistensi peradaban di dalam perut Bumi ini. Secara turun temurun, para leluhur dari suku tersebut diperintahkan untuk menjaga pintu atau gerbang rahasia yang menjadi akses utama untuk masuk ke dalam peradaban tersebut. Beberapa suku di dunia yang mempercayai kebudayaan tersebut antara lain Suku Angami Naga dari India, Suku Taino dari Kuba, suku pribumi di Kepulauan Trobriand, Papua Nugini dan suku pribumi di Meksiko.
Baca Juga: 8 Misteri Segitiga Bermuda Terdapat Banyak Penampakan Serta Konon Ada Portal Tembus ke Dimensi Lain
Memasuki abad pertengahan, para leluhur bangsa Jerman mempercayai tentang eksistensi sebuah portal menuju peradaban di perut Bumi yang terletak diantara pegunungan di wilayah kota Eisenach sampai Gotha. Sementara di Rusia, ada sebuah legenda tentang bangsa Samoyed yang pernah berkunjung ke sebuah kota di dalam Gua yang letaknya di bawah permukaan Bumi.
Dalam buku "Inferno" karya penyair legenda Italia yang bernama Dante Alighieri, Bumi yang semulanya berbentuk padat berubah menjadi berlubang bersamaan dengan diusirnya Lucifer dari Surga. Selain itu, peristiwa terusirnya Lucifer juga menjadi penyebab dari munculnya sejumlah pegunungan di muka Bumi.
Menurut kepercayaan pribumi Indian di AS, ada beberapa leluhur suku Indian yang diduga sebagai mantan penghuni peradaban di dalam perut Bumi, diantaranya ada Suku Mandan, Suku Apache di Arizona, Suku Iroquois dan Suku Hopi. Sementara di Amerika Latin, Suku Indian Brazil dan Suku Inca mempercayai kalau para leluhur mereka berasal dari peradaban di perut Bumi.
Baca Juga: Menjelajahi Misteri Black Hole: Gerbang Menuju Alam Semesta Paralel?
Menurut catatannya Athanasius Kircher bertajuk "Mundus Subterraneus" yang dirilis pada tahun 1665, di dalam Bumi terdapat sebuah rongga yang di dalamnya memiliki saluran air yang rumit dan saling terhubung antara saluran yang satu dengan yang lain. Saluran ini nantinya akan menghubungkan kutub utara dan kutub selatan.
Sampailah kita di tahun 1692, dimana teori Bumi kopong atau Hollow Earth pertama kali diperkenalkan oleh Edmond Halley. Ia menyebut kalau Bumi yang kita tinggali ini memiliki 2 buah cangkang yang berbentuk konsentris setebal 800 kilometer dan 1 bagian inti yang kita kenal sebagai inti Bumi.
Antara cangkang yang satu dengan yang lainnya, dipisahkan oleh atmosfer. Setiap cangkang memiliki kutubnya tersendiri dan berotasi dalam kecepatan yang berbeda.
Teorinya Edmond ini menjadi alasan utama mengapa dalam pembacaan kompas, putaran jarumnya berputar secara tidak wajar. Atmosfer pada setiap cangkang Bumi ini juga menjadi sumber gas yang mengakibatkan munculnya Aurora Borealis. Dan karena atmosfer ini pula, setiap cangkang di bawah permukaan Bumi mampu ditinggali oleh manusia, hewan dan tumbuhan. Inilah yang menjadi dasar teori tentang eksistensi peradaban di perut Bumi.
Berbeda dengan Edmond, matematikawan Swiss bernama Leonhard Euler mempunyai pendapatnya sendiri. Menurutnya, Bumi yang kita tinggali ini hanya memiliki sebuah cangkang di bawah permukaannya saja.
Sebagai sumber penerangannya, Leonhard berpendapat kalau penerangannya berasal langsung dari inti Bumi. Dengan jarak sejauh 1.000 kilometer dari cangkang ke inti Bumi, masyarakat penghuni wilayah cangkang tersebut dapat memenuhi kebutuhan penerangan mereka setiap hari. Namun, pendapatnya Leonhard ini kerap dibantah, sehingga orang-orang yang percaya soal Bumi kopong itu mengambil teorinya Edmond sebagai dasar kepercayaannya.
Baca Juga: 3 Penemuan Bawah Laut Bikin Kaget dan Tercengang, Salah Satunya Objek Sepanjang 70 Meter Mirip UFO
Lanjut ke tahun 1781, seorang penjelajah asal Perancis bernama Le Clerc Milfort melakukan ekspedisi bersama ratusan anggota Suku Muskogee menjelajahi wilayah Gua di sepanjang Sungai Merah, AS. Tujuannya adalah untuk menelusuri jejak peninggalan leluhur Suku Muskogee yang dipercaya sebagai salah satu warga dari peradaban di dalam perut Bumi.
Saat di dalam Gua, Milfort memprediksi kalau luas Gua tersebut mampu menampung 15.000-20.000 kepala keluarga. Dengan temuan itu, Milfort bisa mengkonfirmasi kebenaran soal eksistensi warga penghuni perut Bumi.
Masuk ke tahun 1818, John Cleves Symmes Jr. memiliki pemahamannya sendiri terkait teori Bumi kopong. Menurutnya, Bumi memiliki cangkang setebal 1.300 kilometer, kemudian luas jalan masuk menuju ke bagian perut Bumi sebesar 2.300 kilometer. Jalan ini saling menghubungkan antara kutub utara dan selatan. Pada masing-masing kutub ini, ada 4 buah cangkang yang melindungi jalan masuk ke dalam perut Bumi tadi.
Teorinya John Symmes ini Ia tuangkan ke dalam sejumlah artikel yang Ia sebarkan ke publik lewat media massa. Untuk memperkuat teorinya, John Symmes sempat berniat ke kutub utara bersama salah satu pengikutnya yang bernama James McBride. Sayangnya, Ia keburu meninggal selang 11 tahun usai mengemukakan teorinya.
Meski begitu, teori Bumi kopong milik John Symmes dijadikan referensi untuk beberapa karya tulis, salah satunya adalah novel karya Jules Verne yang berjudul "Journey to the Center of the Earth".
Memasuki tahun 1906, teori Bumi kopong kembali mengalami perubahan dengan hadirnya buku "Phantom of the Poles" karya William Reed. Katanya, Bumi yang kita tinggali ini tidak memiliki bagian cangkang dan inti Bumi.
Baca Juga: Ilmuwan Temukan 100 Spesies Baru di Gunung Bawah Laut Chile
Selang setahun usai bukunya William dirilis, seorang ahli spiritual asal Jerman bernama Walburga Ehrengarde Helena mengeluarkan sebuah buku bertajuk "Colloquies with an Unseen Friends". Dalam buku itu, terdapat sebuah peradaban di dalam perut Bumi yang akses masuknya berasal dari wilayah Gurun. Tak hanya itu, Helena juga menulis kalau peradaban Atlantis ternyata berpindah ke dalam peradaban di dalam Bumi tersebut.
Dalam beberapa novel yang dirilis pada abad ke-20, Agartha menjadi sarang dari beberapa makhluk kriptid. Sementara dalam beberapa karya jurnalistik, Agartha dikaitkan sebagai sarang dari Alien beserta UFO.
Pembuktian Atas Kesalahan Teori Bumi Kopong
Di tahun 1735, 2 orang geolog Perancis bernama Pierre Bouguer dan Charles Marie de La Condamine melakukan perjalanan menuju Gunung Berapi Chimborazo di Ekuador. Perjalanan tersebut memakan waktu 3 tahun.
Sesampainya di sana, mereka melakukan eksperimen dengan menjatuhkan benda ke dalam Gunung Berapi pada ketinggian yang berbeda. Dari percobaan itu, disimpulkan bahwa semakin tinggi suatu benda, maka semakin kecil gaya gravitasi yang dikeluarkan untuk menarik benda tersebut. Sebaliknya, makin rendah tinggi suatu benda, maka semakin besar gaya gravitasinya.
Baca Juga: Heboh Perkiraan Munculnya Selat Muria: Benarkah? Cek Faktanya di Sini!
Eksperimen yang dinamakan sebagai Eksperimen Schiehallion ini, menjadi salah satu bukti yang membantah teori Bumi kopong. Untuk mengkonfirmasi eksperimen tersebut, 2 orang astronom lainnya juga turut melakukan eksperimen serupa di tempat yang berbeda, mereka adalah Nevil Maskelyne dari Inggris dan Charles Mason dari AS.
Teori Bumi kopong ini juga bisa dibantah dengan adanya peristiwa Gempa Bumi yang kerap terjadi. Jika bentuk Bumi ini memiliki rongga, bagaimana bisa Gempa Bumi terjadi? Dalam penelitian terkait gelombang seismik, gelombang tersebut bisa terjadi karena struktur Bumi kita yang padat dan tidak berongga.
Satu hal lainnya yang dapat menyangkal teorinya Edmund Halley adalah gaya gravitasi. Di luar angkasa, gaya gravitasi mempunyai peran untuk menciptakan sebuah gumpalan objek berukuran besar yang bentuknya bulat dan solid. Selain itu, gaya gravitasi juga memiliki peran untuk mencegah objek-objek tersebut untuk saling bertabrakan. Apabila salah satu objek angkasa itu memiliki rongga, maka objek itu akan tertarik oleh gaya gravitasi dari objek lain, sehingga menyebabkan 2 objek tersebut bertabrakan.
Bayangkan jika Bumi yang kita tinggali ini memiliki rongga, apakah mungkin kiamat akan terjadi lebih cepat dari yang kita kira? Karena adanya rongga pada Bumi, maka gaya gravitasi Bumi besarannya akan lebih rendah dibandingkan gaya gravitasi objek lainnya, seperti bintang, meteor dan planet lain.
Fun fact, di tahun 1965, Rusia sempat membuat sebuah bor raksasa yang digunakan untuk melubangi Bumi guna mencari inti Bumi itu sendiri. Proses pengeboran ini dilakukan di Semenanjung Kola pada 24 Mei 1970. Dan setelah berlangsung selama 25 tahun, Rusia berhasil melubangi sedalam 12,3 kilometer, menjadikannya sebagai lubang bor paling dalam di dunia pada masanya.
Rekor tersebut sempat dipecahkan oleh Shaheen Oil Field di Qatar, Uni Emirat Arab yang berhasil melakukan pengeboran sedalam 12,4 kilometer di bulan Mei 2008. Sampai saat ini, belum ada satupun yang mampu melubangi Bumi, karena jarak antara permukaan Bumi ke inti Bumi sedalam 6.400 kilometer.***
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Wikipedia, Parade.com