Kamis, 07 NOVEMBER 2024 • 15:40 WIB

Fenomena Klitih yang Mencengkam di Yogyakarta, Ini Penyebab dan Cara Menghindarinya

Author

Ilustrasi penyelidikan polisi. (freepik.com)

INDOZONE.ID - Klitih merupakan salah satu fenomena yang ramai dibicarakan oleh kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.

Awalnya, kata klitih berasal dari Bahasa Jawa yang berarti jalan-jalan atau beraktivitias di luar rumah.

Namun, klitih cenderung melekat dengan aktivitas kekerasan yang melibatkan pembunuhan serta benda tajam.

Dengan berjalannya waktu, klitih mempunyai konotasi negatif setelah berbagai macam kasus yang sering dilakukan oleh para pelaku.

Baca Juga: Fakta Teror Klitih Saat Sahur: Serang Anak Anggota DPRD hingga Tewas, Wajahnya Disabet Gir

Tidak hanya meresahkan warga, fenomena klitih juga menjadi pusat perhatian yang sering didiskusikan di media sosial.

Pada tahun 2022, kasus klitih di Yogyakarta meningkat sebesar 11,5% dari tahun sebelumnya.

Jumlah pelaku yang ditangkap pun menyentuh 91 orang. Banyak di antara pelaku berstatus pelajar atau pengangguran.

Lantas, apa itu klitih? Bagaimana fenomena klitih bermula dan bagaimana cara pencegahannya? Berikut Indozone merangkum pengertian, penyebab, serta cara untuk mencegah terjadinya klitih.

Sejarah Tentang Klitih

Pada tahun 1990, pihak kepolisian mengelompokan beberapa geng remaja di Yogyakarta yang sering melakukan kejahatan.

Istilah ‘Klitih’ yang awalnya memiliki makna positif, kini berubah menjadi sebuah penyerangan terhadap orang secara tidak terduga.

Pada saat orde baru, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto melarang para pelajar untuk terlibat dalam tawuran. Ia juga mengancam akan mengeluarkan anak-anak yang teribat dari sekolah.

Pada tahun 2016, klitih menjadi perilaku kenakalan remaja yang sering melakukan aksi kejahatan terhadap kelompok lain.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, klitih tidak hanya menyerang kelompok tertentu namun juga menyerang masyarakat secara acak.

Penyebab Klitih

Secara keseluruhan, klitih diberangkatkan dari ancaman Herry untuk mengeluarkan para siswa jika terlibat tawuran.

Para siswa pun akan berkeliling kota untuk melakukan klitih demi mendapatkan pengakuan dari teman-temannya. Dengan melakukan klitih, mereka akan mempunyai ‘reputasi’ yang bagus.

Namun, tidak sepenuhnya pelaku klitih berangkat dari alasan tersebut. Terdapat beberapa faktor, yakni permasalahan pribadi ataupun keluarga, yang juga menjadi faktor pendorong seseorang menjadi pelaku klitih.

Baca Juga: Geger Penampakan Awan Menjulur Tinggi di Langit Jogja, Pertanda Apa?

Salah satu kasus klitih yang paling membuat gempar masyarakat merupakan pembacokan yang terjadi di Jalan Kaliurang yang dilakukan oleh enam pelaku yang merupakan lulusan pelajar SMA, SMK hingga SMP.

Alasan mengapa mereka melakukan aksi klitih dikarenakan para pelaku merasa “tersinggung” setelah korban menyalip di jalan.

Cara Untuk Menghindari Klitih

Terdapat beberapa cara untuk menghindari terjadinya klitih, di antaranya adalah:

Hindari bepergian sendiri

Bepergian sendiri terutama pada malam hari akan mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya klitih. Terutama apabila jika tidak tahu jalan dan nyasar.

Oleh sebab itu lebih baik ditemani seseorang terutama saat bepergian agar para pelaku enggan untuk melakukan klitih.

Mencari rute yang terang dan ramai

Klitih cenderung terjadi pada malam hari. Sebab itu, carilah rute yang lebih terang dan ramai. Beberapa orang berpendapat untuk mengambil rute jauh tetapi aman, jika perlu untuk meminimalisasi risiko.

Pastikan ponsel selalu siap

Ponsel merupakan alat penting apabila terjadi sesuatu. Pada saat-saat tertentu atau dalam keadaan bahaya, gunakan ponsel itu untuk menghubungi orang-orang terdekat untuk pertolongan.

Fenomena klitih sudah mendapat perhatian serta upaya dari pemerintah melalui patroli yang dilakukan setiap malam.

Akan tetapi, penting untuk meningkatkan kesadaran diri dan berjaga-jaga pada saat malam hari untuk tidak menjadi korban klitih.

Penulis: Gadis Kinamulan Esthiningtyas

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: LM Psikologi UGM