INDOZONE.ID - Dalam estetika tradisional Jepang, wabi-sabi adalah salah satu filosofi hidup yang memiliki pengaruh besar dalam kebudayaan Jepang modern.
Filosofi wabi-sabi merupakan cara pandang yang menerima kefanaan dan ketidaksempurnaan.
Estetika ini menekankan keindahan dalam sesuatu yang tidak sempurna, tidak abadi, dan tidak lengkap.
Filosofi wabi-sabi digunakan oleh banyak seniman, arsitek, dan masyarakat Jepang secara umum, terutama pada masa Jepang kuno.
Orang Jepang meyakini bahwa kehidupan yang damai dan penuh makna bisa dicapai dengan menerima ketidaksempurnaan, baik pada objek maupun dalam hidup.
Kata wabi (侘) berasal dari kata kerja wabu, yang berarti merasa merana, dan kata sifat wabishii (侘しい), yang menggambarkan perasaan sedih atau kemiskinan.
Baca Juga: Peradaban Sungai Kuning: Membedah Asal Usul Kebudayaan Cina Kuno
Namun, kata ini juga dapat mengandung makna kesederhanaan, hidup tanpa materialisme, dan rendah hati.
Sementara itu, sabi (寂) menggambarkan keindahan yang muncul dari perubahan alami, dengan pemahaman bahwa keindahan tidak akan bertahan selamanya.
Sehingga berdasarkan hal tersebut, wabi-sabi berarti keindahan yang ditemukan dari hal yang sederhana dan tidak sempurna.
Prinsip wabi-sabi pertama kali muncul pada masa Dinasti Song di China, yang diperkenalkan ke Jepang oleh biksu Zen Eisai pada abad ke-12.
Tradisi ini diformalisasikan pada zaman Kamakura dan kemudian dipopulerkan oleh Sen no Rikyū pada zaman Muromachi.
Salah satu penerapan prinsip wabi-sabi pada zaman itu adalah upacara minum teh. Upacara minum teh merupakan elemen penting dalam wabi sabi.
Dalam upacara minum teh, cangkir atau teko yang digunakan sering kali memiliki tekstur kasar, warna pudar, atau bahkan retakan.
Baca Juga: Mengulik Tradisi Belian: Metode Pengobatan Gaib Suku Talang Mamak dari Riau
Upacara ini juga biasanya berlangsung di ruangan sederhana yang beralaskan tatami, sehingga konsep yang dibangun dalam upacara masih berlandaskan prinsip wabi-sabi.
Cerminan prinsip ini yang lain adalah kintsugi, seni Jepang yang memperbaiki keramik pecah dengan menggunakan campuran resin yang dicampur dengan bubuk emas, perak, atau logam lain.
Ide dasar dari kintsugi adalah menghargai ketidaksempurnaan dan melihat keindahan dalam sesuatu yang pernah rusak.
Alih-alih membuang piring atau mangkuk yang pecah, orang Jepang memperbaikinya sehingga retakan tersebut menjadi bagian dari cerita barang itu.
Konsep wabi-sabi sudah berkembang dan dikenal luas, tidak hanya di Jepang tapi juga di berbagai negara.
Konsep ini populer karena sejalan dengan gaya hidup minimalis yang sedang tren di era modern.
Di tengah kehidupan modern Jepang yang serba cepat, wabi-sabi tetap relevan sebagai filosofi yang menghargai keindahan dalam kesederhanaan dan ketidaksempurnaan, menjadi keseimbangan dalam gaya hidup modern yang penuh tekanan dan perubahan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Japanese Research On Linguistics, Literature, And Culture