Kenichi Sonei merupakan seorang kapten Tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Pasifik. Setelah penaklukan dan pendudukan Jepang di Hindia Belanda (sekarang Indonesia ), ia diangkat menjadi komandan kamp tawanan perang Batalyon 10.
Ia berkuasa sebagai komandan di sana dari September 1942 hingga Februari 1944. Kemudian di kamp interniran Tjideng dari April 1944 hingga Juni 1945.
Pria kelahiran 7 Desember 1946 ini terkenal dengan reputasi buruk. Ia sangat kejam dan sadis hingga membuat hidup para interniran (tawanan perang) seperti di neraka.
Interniran Belanda
Dituliskan R.H.A. Saleh dalam Tesis ‘Allied Prisoners of War and Internees (A.P.W.I) di Jawa dan Repatriasinya Setelah Perang Berakhir,’ kekejaman Kenichi Sonei tentu dimulai ketika Jepang menyingkirkan Belanda.
Tiga bulan setelah kedatangan Jepang di Hindia Belanda (sejak Januari 1942), orang Belanda menjadi pariah. Dipites seolah caplak, diinjak serupa kecoak.
Mereka tak bisa berbuat apa-apa, tatkala Jepang menyita rumah-rumah di kawasan Tjideng (red: Cideng), Jakarta.
Rumah-rumah itu jadi tempat tahanan bagi perempuan sipil, anak-anak perempuan, dan anak lelaki berusia di bawah 10 tahun dari berbagai bangsa Eropa.
Mereka disebut interniran yang ditahan di area pagar kawat berduri setinggi dua meter. Penjara seperti ini dulu tersebar di beberapa tempat di Jawa.
Kegilaan Kenichi Sonei
Semula kehidupan interniran di Kamp Cideng berjalan biasa-biasa saja. Sejak ditahan polisi Jepang (Keimubu) pada Oktober 1942, mereka masih boleh memanggil babu dan berdagang dengan orang-orang Indonesia.
Mereka juga masih mendapat tempat tidur enak, mandi asyik, dan makan lumayan. Tetapi sejak April 1944, kehidupan mereka berubah drastis karena Kamp Cideng dipegang komandan militer, Kenichi Sonei.
Pria itu membuat kamp bak neraka tertutup karena menimbun interniran. Satu rumah yang harusnya untuk 10 orang, jadi terisi oleh 50-100 orang.
Baca juga: Rahmat Shigeru Ono, Tentara Jepang yang Membela Indonesia
Akibatnya penghuni kamp naik drastis dari ratusan orang, jadi puluhan ribu orang. Mereka tak pernah tidur nyenyak karena himpit-himpitan.
Seorang perempuan mantan interniran bercerita, buang air besar pada tengah malam jadi susah karena toilet rumah malah jadi tempat tidur.
Interniran juga mulai jarang mandi lantaran air kotor. Jika mereka nekat mandi, malah gudikan. Tapi jika tak mandi, gatal-gatal, sangat serba salah.
Jatah ransum interniran pun menciut. Satu per satu tawanan perang itu mati kelaparan. Para ibu bahkan rela menangkap hewan apa saja demi keberlangsungan hidup anak-anaknya.
Mengetahui hal tersebut Sonei dengan sengaja memberi makan anjingnya di depan gerbang kamp.
Di hadapan para tahanan yang lapar, ia secara pribadi menyajikan telur goreng dengan daging untuk kedua anjingnya. Makanan itu bahkan langsung disiapkan oleh juru masaknya.
Perbuatannya itu pun sungguh gila. Apalagi ia juga gemar memukuli wanita dan mencukur rambut mereka.
Selain itu, ia juga dianggap 'mabuk bulan' karena tindakan kekerasannya yang paling brutal sering terjadi pada bulan purnama.
Dijatuhi Hukuman Mati
Neraka Cideng padam pada Agustus 1945 saat Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia merdeka. Sekutu kemudian datang dan melucuti Komandan Sonei.
Ia dihadapkan ke interniran, lalu diminta membersihkan lapangan. Seorang mayor Sekutu bahkan menempelengnya.
Baca juga: Bukan NAZI, Diduga Terompet Firaun Tutankhamun Jadi Pemicu Perang Dunia II?
Perempuan dan anak-anak yang melihat itu bertempik-sorak kegirangan. Mereka juga ikut merdeka, tapi dalam makna yang berbeda dari orang-orang Indonesia.
Pada akhir Perang Dunia II di Asia, Sonei kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Militer. Eksekusinya dilaksanakan pada tanggal 2 September 1946, setelah permohonan grasi ditolak penjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda , Hubertus van Mook.
Usut punya usut, istri Van Mook ternyata pernah menjadi salah satu tahanan Sonei di Cideng.
Artikel Menarik Lainnya:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: