Kategori Berita
Media Network
Sabtu, 27 AGUSTUS 2022 • 19:53 WIB

Mengenang Bentrokan Berdarah TNI vs Polisi di Binjai, Dahsyat Bak Perang Kota Sungguhan

Ilustrasi warga melintas di depan mobil Baracuda. (Antara Foto/M Agung Rajasa)

Peristiwa berdarah bentrokan antara TNI dan Polisi pernah terjadi di Kota Binjai, Sumatera Utara pada 30 September 2002.

Insiden bentrokan ini benar-benar seperti perang sungguhan melibatkan unit Bataliyon Infanteri Lintas Udara 100/Prajurit Setia (Yonif Linud 100/PS) dengan korps Brimob Polda Sumut yang sama-sama bermarkas di Binjai. 

Penyebabnya sebenarnya sepele saat polisi menangkap seorang pemuda yang membawa narkoba. Anggota TNI meminta pemuda itu dibebaskan, tentu saja polisi menolak. TNI yang marah menyerang perwira polisi dan dibalas tembakan anggota Polres Binjai.

Tak terima, puluhan rekan anggota TNI itu menyerang markas Brimob yang berada di Jalan Medan-Binjai. Markas ini pun kemudian nyaris rata dengan tanah karena terjadi penyerangan dan aksi pembakaran.

Aksi perang kota ini begitu mencekam karena terjadi insiden tembak menembak semalaman. Akibat insiden ini, 10 Orang tewas dalam bentrokan ini. Tiga diantaranya warga sipil.

Ilustrasi kendaraan TNI blokir jalan. (FOTO ANTARA/Didot)

 

Peristiwa ini membuat gempar publik secara nasional hingga membuat Kapolri dan Kepala Staf TNI AD harus turun tangan. Kepala Staf AD Jenderal TNI saat itu Ryamizard Ryacudu dan Kapolri Jenderal Da`i Bachtiar bahkan turun untuk ketegangan.

Kepala Staf TNI AD Jenderal Ryamizard Ryacudu bahkan harus mengambil tindakan tegas. 20 Anggota Yonif Linud 100 dipecat tidak hormat. Komandan batalyon juga dicopot dan markas batalyon dikosongkan selama setahun.

Akibat peristiwa ini Bataliyon Infanteri Lintas Udara 100/Prajurit Setia disingkat Yonif Linud 100/PS dibekukan selama 5 bulan. Bataliyon ini kemudian diaktifkan kembali pada tanggal 22 Desember 2003 dengan nama baru Yonif 100/Raider Kodam I/Bukit Barisan. Personel Yonif 100 terdiri dari 747 anggota yang dibagi dalam 5 kompi. 

Kronologi bentrokan berdarah di Binjai

Sepanjang Minggu 29 September 2002, markas Bataliyon Linud 100 tampak lengang. Kebanyakan prajurit, terutama yang lajang, berada di luar markas. Setiap Sabtu sore hingga Minggu malam, tentara di sana mendapat izin bermalam di luar markas.

Markas Batalyon itu berada di desa Namu Ukur, kecamatan Namu Sira-Sira, sebuah daerah pinggiran yang penduduknya didominasi orang Karo dan Jawa. Namu Ukur berjarak 10,5 kilometer dari Binjai. Di sana banyak kebun sawit, kelapa, dan karet.

Ilustrasi prajurit TNI. (Dok Warga)

 

Markas Linud 100/PS dilengkapi dengan kantor, asrama tinggal, dan lapangan luas untuk latihan. Sekitar 700-an personilnya dibagi lima kompi: Kompi Senapan A, Kompi B, Kompi C, Kompi Bantuan dan Kompi Markas. Sekitar satu kompi pasukan Linud 100 saat itu sedang siap-siap berangkat melakukan operasi di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara.

Akibat keributan Sabtu malam, ada instruksi dari Kodam Bukit Barisan bahwa semua tentara tak boleh keluar Markas tanpa izin. Amru Daulay mengatakan pada saya, sepanjang hari itu dia melihat para tentara di Markas Linud saling berkelompok di barak mereka, sibuk membicarakan peristiwa penembakan Abdul Rahmat dan Hilman semalam.

Mereka tak bisa menerima perlakuan Polisi yang selama ini dianggap meremehkan Korps mereka. Kebanyakan tentara Linud panas hatinya dan tak rela jika terus berdiam diri. Sebuah rencana pembalasan pun dilakukan. Amru sepakat dengan ide teman-temannya itu.

Seperti biasa, setiap Minggu pukul 21:00, seluruh prajurit melaksanakan apel untuk pengecekan pasukan pulang yang sebelumnya izin bermalam. Malam itu hampir semua prajurit ikut apel di halaman depan markas lengkap dengan pakaian loreng hijaunya.

Komandan Batalyon Linud 100/PS Mayor Infanteri Madsuni, yang diwawancarai sejumlah wartawan empat hari setelah peristiwa penyerangan bercerita, dalam apel itu dia memberi pengarahan pada ratusan anak buahnya tentang rencana pengiriman sekompi pasukan Linud ke perbatasan Aceh dua hari mendatang. Dia juga menjelaskan peristiwa yang terjadi di Polres Binjai dan memerintahkan pasukannya tak mengambil tindakan apa pun. Persoalan itu diselesaikan para atasan mereka. “Kalau merasa saya komandanmu, sebagai bapakmu, tolong ingat, jangan sampai ada anggota yang keluar tanpa perintah saya,” katanya.

Tak ada prajurit yang membantah perkataan komandannya. Mereka membubarkan diri. Sebagian ada yang kembali ke asrama mereka. Sebagian lagi bertahan dekat barak Kompi Senapan A. Dalam dakwaan oditur militer disebutkan para tentara itu bergerombol, membicarakan lagi rencana pembalasan itu. Mereka akan menyerang Polres Binjai malam ini. Mereka perlu senjata, tapi semua senjata di simpan di gudang.

Prajurit Satu Askar dan Prajurit Satu Syukir yang ada dalam kelompok itu berteriak, “Harus kita balas. Tidak betul kalau tidak kita balas.”

Sersan Dua Jalaluddin, seorang Komandan Regu Kompi Senapan A, paling bersemangat dengan rencana itu. Dia memberitahu Amru Daulay yang ikut berkumpul di situ, “Pasukan siap.”

Mereka pun bergerak ke gudang senjata Kompi Senapan A. Lampu dipadamkan. Dalam keadaan gelap, mereka menyekap Sersan Satu Hasbullah, kurir yang bertugas menjaga gudang senjata. Kaki dan tangan Hasbullah diikat dengan tali pinggang. Kunci gudang diambil dari saku celananya.

Pintu gudang pun dibuka. Seratusan tentara menyerbu masuk berebutan mengambil senjata laras panjang secara serabutan: senapan serbu SS-1, senapan mesin buatan Israel Minimi, dan Grenade Launching Machine (GLM) lengkap dengan amunisi. Amru Daulay menyambar SS-1 dan mengambil 20 butir peluru.

Masih menurut oditur militer, Sersan Satu Jalaluddin melepaskan tembakan satu kali ke udara. Dia memerintahkan Prajurit Kepala Bahtiar, yang sedang piket, membunyikan alarm sira-sira.

Semua orang mendengar alarm itu mengaung-ngaung memecah kesunyian malam. Prajurit-prajurit yang sudah pulang ke asrama kelabakan kembali ke lapangan apel. Sebagian membuka gudang senjata di masing-masing kompi untuk mengambil senjata. Sudah peraturan, jika alarm sira-sira berbunyi, siapa pun prajurit dan di mana pun dia berada, harus segera berkumpul dengan pakaian dan senjata lengkap. Alarm itu jadi semacam genderang perang bagi mereka.

Hanya dalam hitungan menit, ratusan tentara bersenjata lengkap sudah berkumpul di lapangan. Ketika lampu kembali menyala, enam truk tentara sudah siap mengangkut pasukan.

Menurut Mayor Madsuni, dia sempat kebingungan mendengar alarm sira-sira. Dipikirnya para prajurit hendak latihan. Tapi ketika melihat pasukannya sangat banyak, hampir dua kompi lebih, baru dia sadar. “Apa ini? Ada apa ini?” teriaknya melihat gudang senjata terbuka. Dia menghalangi sejumlah prajurit yang mengambil senjata. Tapi mereka tak bisa dibendung.

“Kalau Komandan tidak izin, silahkan tembak kami,” kata seorang prajurit kepada Madsuni.

“Selama ini kami disalahkan terus-terusan. Pokoknya kami tidak rela kawan kami ditembaki musuh.”

Madsuni tak bisa bergerak. Beberapa prajurit menyeretnya menjauh. Dia mencari beberapa perwira komandan kompi untuk membendung jalan keluar markas. “Oke, kita bendung di depan,” perintah Madsuni. Portal di mulut masuk markas ditutup tapi dijebol anak buahnya yang marah.

Keadaan tak terkendali lagi. Prajurit-prajurit itu brutal. Mereka bergerak spontan membentuk massa yang tak bisa dibendung. Tak jelas siapa memimpin siapa. Kebanyakan karena ikut-ikut kawan karena solidaritas. Mereka merasa bertindak benar karena berada pada posisi membela kehormatan korps Lintas Udara yang diremehkan Polisi.

Pukul 22:15 truk pertama meninggalkan Markas Linud. Disusul truk-truk lainnya. Jalan selebar lima meter itu menjadi ramai. Sebagian tentara yang belum terangkut berinisiatif jalan kaki. Sebagai pasukan tempur mereka punya kelebihan dalam hal infanteri, mampu berjalan sejauh 40 kilometer tanpa berhenti.

Amru Daulay yang berpakaian loreng lengkap dengan senjata ada di bak belakang truk Reo bersama 20-an kawannya. Tujuan mereka menyerang Polres Binjai. Sejumlah Perwira mengejar dengan motor trail tapi tanpa hasil.

Malam itu sebanyak dua kompi gabungan, kebanyakan dari Kompi Senapan A dan Kompi B, bergerak ke luar Markas. Jumlahnya tak bisa dipastikan, karena anggota kompi lainnya turut bergabung secara spontan. Mereka diangkut dengan enam truk militer plus satu truk pengangkut kelapa sawit yang kosong secara estafet. Mereka akan menyerang polisi. Peringatan bahaya segera disampaikan Batalyon Linud ke Polres Binjai melalui telepon.

Pukul 22:45 truk Reo yang ditumpangi Amru Daulay tiba di lapangan depan poliklinik militer di Simpang Bangkatan. Markas Polres Binjai hanya berjarak 100 meter dari situ. Tentara lainnya datang susul-menyusul. Tentara-tentara itu melompat dari truk dan segera menyusun strategi penyerangan. Ratusan tentara berkonsentrasi dekat Polres Binjai. Lainnya menyebar ke titik-titik tertentu dalam kota Binjai, dengan naik truk dan jalan kaki.

Binjai belum begitu sepi menjelang tengah malam. Beberapa kendaraan masih berseliweran. Sejumlah pedagang rokok masih membuka kiosnya di sudut-sudut jalan di kota. Tapi melihat tentara bersenjata lengkap datang bergerombol mereka segera bersembunyi. Tentara itu menyuruh warga sipil segera menyingkir karena akan ada “perang.”

Sebagian tentara memblokir jalan yang menghubungkan Polres Binjai dengan markas Brimob Binjai, yang terpisah sekitar empat kilometer. Brimob Binjai merupakan markas Kompi IV Batalyon A Satuan Brigade Mobil Sumatera Utara. Markas mereka terletak di jalan utama yang menghubungkan Binjai dan Medan. Logika para tentara yang memblokir itu adalah kemungkinan datangnya bantuan dari Brimob bila sesama Polisi diserang di Polres Binjai.

Polres Binjai adalah sasaran utama mereka. Seratusan tentara Linud bergerak menyebar. Mereka mengendap dan bertiarap di balik pot-pot bunga pinggir jalan sekitar Polres Binjai. Moncong senjata diarahkan ke Markas Polisi yang letaknya agak masuk ke dalam. Markas Polisi itu gelap. Polisi sudah tahu akan ada penyerangan dan bersembunyi dalam markas. Jumlah mereka 50-an orang.

Seorang tentara melepaskan tembakan cahaya merah ke langit sebagai tanda. Suara ledakan dari senjata pelontar membuka tembakan pertama, menghantam atap markas polisi. Penyerangan dimulai. Tentara Linud 100 menembaki Markas dari luar. Peluru-peluru berhamburan seperti siraman air, menghantam tembok, papan nama dan apa saja yang ada dalam kantor polisi itu. Kaca jendela berpecahan. Sejumlah polisi sempat membalas tembakan dengan pistol sebelum kucar-kacir melarikan diri.

Di kegelapan, Amru melihat teman-temannya menembaki Markas Polisi yang terpaut 30 meter dari tempat mereka tiarap. Amru terdorong ikut menembak. Satu, dua tiga, empat peluru berentetan ke luar dari moncong senjatanya. Tak ada seorang pun Polisi yang tampak, maka bangunan kantor menjadi sasarannya.

Bentrokan Pun Pecah!

Medan dan sekitarnya. Perintah siaga diumumkan di seluruh radio panggil Polisi malam itu. Pesannya singkat, “Polres Binjai diserang Linud.” Di markas besar Brigade Mobil, Jalan Wahid Hasyim, Medan, puluhan pasukan Brimob siap sedia. Ada permintaan bantuan pasukan dari Polres Binjai.

Bantuan pertama datang dari Brimob Kompi IV Batalyon A Binjai. Pukul 23:40 iring-iringan truk dan mobil Suzuki Jimny yang membawa belasan pasukan Brimob meluncur ke arah Polres Binjai. Markas Brimob Kompi IV cuma berjarak satu kilometer dari bundaran tempat tentara Linud berjaga-jaga sejak awal.

Maka kontak senjata pertama antara kedua pasukan tak terhindarkan. Pertempuran itu tak berimbang. Tentara Linud di sekitaran bundaran tugu lebih banyak jumlahnya. Truk Brimob menjadi bulan-bulanan peluru.

Dalam truk Brimob, Inspektur Dua Tito Yudha Darma, yang duduk di bagian depan terluka parah. Menyusul tumbang Bharada Heri Kurniawan dan Brigadir Satu Ilham terkena terjangan peluru. Truk Brimob itu pun melarikan diri.

Pada pukul 24:00 iring-iringan Suzuki Katana, truk Dyna, dan mobil APC (armed personnel carrier) atau mobil anti peluru yang membawa pasukan Brimob keluar dari Medan menuju Binjai. Di atas truk Dyna terdapat 17 pasukan Brimob. Inspektur Dua Hardy Chaniago, Wakil Komandan Brimob Kompi I Bataliyon A, mendapat telepon dari atasannya. Mereka diperintahkan untuk mengevakuasi pasukan Brimob yang kabarnya ditembaki tentara Linud. Chaniago duduk di bagian depan truk bersama supirnya Bharada Marwin Santosa.

Marwin membawa truk itu kencang melaju ke arah Binjai. Jalan Medan-Binjai terlihat sepi. “Pelan-pelan sedikit. Kalau dihadang kita cepat berhenti,” kata Chaniago.

Melewati daerah Diski, saat melintasi tugu ucapan “Selamat Datang” kota Binjai, ada tumpukan warga berdiri berkelompok di pinggiran jalan. Mereka berteriak-teriak, melambaikan tangannya minta truk berhenti. “Berhenti. Berhenti. Jangan masuk. Ada perang.”

Truk terus melaju. Mobil Suzuki Katana, yang membawa tiga orang Brimob, sudah tak tampak karena berangkat lebih cepat dari mereka. Satu kilometer menjelang markas Brimob Binjai, Chaniago berkata, “Marwin, kita masuk ke Batalyon.”

“Ya, Dan.” Marwin segera memindahkan kaki ke pedal rem untuk memperlambat laju truk. “Dan” singkatan kata “komandan” –sesuatu yang lazim di kalangan polisi dan tentara Indonesia.

Di depan mereka, Markas Kompi IV Batalyon A Brimob Sumatera Utara, dalam keadaan terang-berderang oleh lampu sorot yang ada di beberapa sudut halaman. Markas itu dikelilingi lapangan luas. Hanya bangunan kantor dan masjid kecil tampak depan Markas. Rumah-rumah prajurit berada jauh di belakang. Di depan Markas, rumah penduduk berderet rapat. Jalan Medan-Binjai di depan Markas, membentang selebar 10 meter dipisahkan median jalan berupa tembok setinggi setengah meter.

Malam itu cuma ada satu Pleton minus atau sekitar 20-an pasukan Brimob di Markas Kompi IV. Kebanyakan pasukan sedang latihan di Sibolangit untuk persiapan operasi ke Aceh. Maka ketika markas ditembaki, sebagian besar Brimob memilih bersembunyi.

Rumah penduduk dan jalan depan Markas tampak gelap ketika truk Dyna mendekati Markas. Tak ada yang mencurigakan. Tapi mendadak rentetan tembakan terdengar keras. Tentara-tentara Linud ternyata bersembunyi di balik tembok median jalan. Mereka menghujani truk dengan tembakan.

“Rem Win!” teriak Chaniago.

Marwin diam tak bergerak. Kepalanya tertunduk ke arah stir truk. Truk terus melaju. Chaniago segera mengambil alih stir dan membanting arah ke kiri sehingga truk naik ke trotoar dan berhenti melintang menutup setengah badan jalan. Tak jauh dari situ, teronggok Suzuki Katana yang tadi pergi mendahului mereka juga. Tiga orang Brimob di dalamnya sudah lari menyelamatkan diri karena ditembaki tentara Linud.

Chaniago masih berusaha menarik Marwin. Tembakan terdengar lagi. Waktu itulah Chaniago sadar, kepala Marwin ditembus peluru. Darah membasahi wajah anggota Brimob yang baru berumur 23 tahun itu. Marwin tewas seketika.

Di bak belakang truk, jerit kesakitan mulai terdengar. “Tolong, Dan. Saya kena.” Dua belas anak buah Chaniago terkena tembakan.

Panik. Tak sempat membalas tembakan. Gaduh. Antara teriakan dan rentetan senjata. Chaniago berteriak, “Loncat kalian semua!”

Di seberang jalan, sambil terus menembak, tentara-tentara dari kesatuan Linud berkoar menantang, ”Ayo balas tembakan kami.”

Mereka sudah berdiri dan berjalan ke sana kemari sambil terus menembak. Para anggota Brimob berloncatan ke samping truk. Mereka merayap menghindari tembakan. “Cari perlindungan,” kata Chaniago.

Semua turun, masuk ke dalam markas Brimob, kecuali Marwin yang tinggal tanpa nyawa dalam kabin truk Dyna.

Polres Binjai

Penyerangan berlangsung tanpa perlawanan. Sebagian tentara Linud tak begitu tertarik dengan situasi ini. Seorang tentara memberitahu, ”Aman, tak ada balasan.” Tembakan pun dihentikan. Mereka masuk ke dalam Markas Polisi. Mengobrak-abrik isi kantor. Membakar sejumlah sepeda motor dan mobil yang diparkir di halaman. Polisi tak tampak lagi. Sebagian bersembunyi dalam kolam ikan. Lainnya lari entah ke mana.

Seorang tentara datang memberi kabar. “Brimob datang dari Medan. Sekarang sedang kontak senjata di tugu.” Tugu ini terletak di tengah kota Binjai tempat terjadinya tembak-menembak pertama antara Linud dan Brimob. Sebagian besar tentara segera bergerak meninggalkan Polres Binjai menuju tugu dengan dua truk Reo. Amru ikut naik Reo bersama kawan-kawannya.

Kontak senjata sengit di tugu sudah terjadi antara pasukan Linud dan pasukan Brimob yang datang dari Medan. Beberapa pasukan Linud sempat terkena tembakan. Pasukan Brimob datang dengan sebuah panser, yang biasa disebut kendaraan taktis dan disingkat rantis. Panser Brimob ini menembakkan senjata otomatisnya tanpa arah. Kontak senjata antara Brimob dan Linud berlangsung lama.

Amru Daulay mengendap di samping rumah warga dekat Markas Brimob melihat panser itu melaju kencang. Senjata otomatis di atas rantis masih terus berbunyi dengan arah tembakan memutar. Peluru rantis itu sebesar jempol kaki. Amru terjatuh dari tembok untuk menghindari peluru rantis yang berterbangan tak tentu arah. Lututnya memar ketika melompati sebuah parit saat hendak membalas tembakan ke arah rantis. Tapi rantis itu telah pergi jauh kembali ke Medan, rupanya tak tahan dengan serangan Linud.

Tak lama sebuah truk Reo datang. Seorang tentara Linud turun dan berteriak, ”Hai, Para. Siapa yang punya golongan darah A?”

Para adalah sandi panggilan untuk anggota Linud. Tampaknya ada tentara yang terluka dan butuh donor darah.

Tak jelas berapa korban jatuh malam itu. Ambulance rumah sakit, yang diminta untuk mengevakuasi pasukan Brimob yang terluka, tak dapat mendekati lokasi pertikaian. Ambulance yang datang dari Medan itu tertahan di simpang jalan masuk Markas Arhanud Rudal 11 Binjai, sekitar 500 meter sebelum Markas Brimob Binjai.

Di sana sejumlah prajurit Arhanud memblokir jalan, supaya tak ada orang sipil yang mendekati lokasi. Di situ pula sejumlah wartawan media cetak, online, radio dan televisi dari Medan, bertahan sepanjang malam memantau situasi. Keadaan mencekam. Warga yang rumahnya berdekatan dengan Markas Brimob tiarap sepanjang malam dalam rumah mereka.

Beberapa mobil warga yang kebetulan melintas dalam kota Binjai ditembaki tentara. Korban sipil pun berjatuhan. Tak ada upaya keras untuk menghentikan aksi brutal pasukan Linud. Amru Daulay sempat mendengar kabar dari temannya, “Sebentar lagi panser yang membawa Pangdam datang. Jangan ditembaki.”

Tapi tak pernah ada Mayor Jenderal M. Idris Gassing datang ke lokasi malam itu. Panser Kaveleri yang datang dari Medan hanya melintas begitu saja. Pejabat dari Kodam Bukit Barisan yang turun ke lapangan hanya Asisten Intel Kolonel Iwan Prilianto yang tak mampu berbuat banyak.

Sepanjang malam itu, tembakan terus terjadi. Kalau pun mereka berhenti hanya setengah jam. Tentara Linud duduk-duduk di jalan. Mereka bertahan menguasai kota Binjai hingga Senin pukul 06.30 pagi.

Ketika cuaca mulai terang, tentara Linud melakukan pembersihan lokasi pertempuran. Maka mereka yang tadinya bertahan di jalan, mulai masuk ke Markas Brimob. Kantor bagian depan dalam keadaan hancur karena ditembaki dengan senjata otomatis dan senjata berat. Mereka pun membakar kantor berikut kendaraan dalam halaman, termasuk Suzuki Katana dan truk Dyna yang melintang di jalan. Asap hitam tebal mengepul ke langit.

Tentara mulai menyingkir ketika warga mulai ramai keluar rumah pagi itu. Sementara 20-an pasukan Brimob mulai berdatangan dari Medan. “Balik. Orang-orang sudah banyak,” teriak seorang tentara. Mereka secara berkelompok menarik diri dengan jalan kaki. Sesekali mereka melepaskan tembakan.

Pasukan Brimob yang datang dari Medan jalan kaki sambil menyisir jalan menuju Markas Brimob Binjai. Mulailah mereka menemukan korban-korban. Tubuh Marwin Santosa ditemukan tergeletak di badan jalan, tak jauh dari truk Dyna yang terbakar. Entah siapa yang menurunkannya. Uang dan telepon selularnya hilang.

Tito Yudha Darma dan Ilham tergeletak tak bernyawa di sebuah jalan kecil di samping Markas Brimob. Seorang rekan mereka sempat membawa keduanya yang terluka malam itu ke arah Markas. Tapi melihat banyak tentara Linud depan Markas, Tito dan Ilham ditinggal pergi, hingga tewas kehabisan darah.

Heri Kurniawan ditemukan di depan Masjid Agung Binjai di sekitaran tugu. Sementara sekitar 20 anggota Brimob yang luka tembak keluar dari tempat persembunyian mereka. Dalam keadaan emosi melihat teman-temannya tewas dan luka, pasukan Brimob menganiaya Prajurit Kepala Purwanto, anggota Arhanud Rudal, yang kebetulan berdiri di jalan ketika Brimob masuk ke Binjai. Purwanto ditembak mati. Purwanto sama sekali tak terlibat dalam penyerangan itu.

Senin pagi itu, ketegangan belum berakhir. Di Polres Binjai yang kosong, puluhan warga menjarah barang-barang berharga milik kantor. Hiruk pikuk. Pintu penjara bobol. Sebanyak 61 tahanan melarikan diri.

Lewat pukul tujuh, Kapolres AKBP HM Mulyi Karnama memerintahkan anak buahnya mencari perlindungan ke pendopo Walikota dekat lapangan Merdeka. Maka bergeraklah 40 Polisi ke sana, menyusuri gang-gang sempit belakang rumah penduduk, untuk menghindar dari tentara Linud yang masih bertahan di pusat kota. Mereka dalam keadaan takut. Para polisi itu tak dilatih berperang. Mereka dilatih menghadapi warga sipil. Tak disangka, tentara Linud ternyata ada dekat rumah walikota. Maka mereka pun ditembaki lagi.

Dalam panik, sebagian besar polisi terjun ke sungai. Tak ada yang sadar, Brigadir Polisi Ridwan M Hayat dan Brigadir Satu Satria Sembiring, terbawa arus sungai dan tewas.

Artikel menarik lainnya:

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

BERITA TERBARU

Mengenang Bentrokan Berdarah TNI vs Polisi di Binjai, Dahsyat Bak Perang Kota Sungguhan

Link berhasil disalin!