Jika biasanya anjing mengeluarkan suara gonggongan, lain halnya dengan anjing di dataran tinggi Papua yang justru bernyanyi.
Satwa berkaki empat ini memiliki sejumlah nama dari pakar-pakar biologi, seperti anjing bernyanui dataran tinggi (highland singing dog), anjir liar dataran tinggi (highland wild dog) dan anjing bernyanyi Papua (Papua singing dog).
Anjing yang bisa bernyanyi di dataran tinggi Papua ini dianggap sakral dan dihormati oleh suku-suku dataran tinggi Papua, seperti Suku Moni di Desa Ugimba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.
Warga Suku Moni menganggap anjing yang bisa bernyanyi atau dalam bahasa mereka disebut segehome, adalah bagian dari leluhur mereka.
Selain itu, anjing tersebut juga dianggap sebagai tuan tanah atau penjaga dataran tingg Cartensz Pyramid, puncak tertinggi di Jayawijaya dengan ketinggian 4.884 meter dari permukaan laut (mdpl).
Kawasan ini sendiri merupakan bagian dari area kerja perusahaan tambang tembaga PT Freeport Indonesia (PTFI).
Sempat Dinyatakan Punah
Tahun 1970, anjing yang masih kerabat kerabat dengan anjing bernyanyi di Papua Nugini itu sempat dinyatakan punah oleh pakar biologi dunia. Setelah spesiesnya tidak ditemukan lagi di Carstensz.
Baca juga: Patung Charles Buls: Lambang Kebanggaan dan Tempat Penyembuhan Bagi Anjing yang Sakit
Namun, beberapa tahun yang lalu, seorang pria asal Bantul, Yogyakarta bernama Anang Dianto mengunggah foto dan video lima ekor anjing yang memiliki ciri bulu cokelat emas, telinga setiga tegak mirip serigala dan moncong hitam pendek mirip rubah.
Foto dan video yang diambil di area kerja Anang di Grasberg pada ketinggian 4.000 mdpl itu kemudian diunggahnya di media sosial Twitter-nya pada 24 Juli 2020.
Objek Peneliti Satwa dari New Guinea Highland Wild Dog Foundation (NGHWDF)
Setelah mengunggah ke media sosial, Anang kemudian meneruskan penemuannya itu ke akun Facebook New Guinea Highland Wild Dog Foundation (NGHWDF), yayasan peneliti spesies anjing liar dataran tinggi, yang berpusat di Florida, Amerika Serikat.
James Mclntyre dari NGHWDF mengatakan bahwa anjing yang ditemukan Anang adalah satwa yang mereka cari selama ini, yaitu anjing bernyanyi Papua.
September 2016, mulai dilakukan penelitian pertama di antara tebalnya kabut dan cuaca dingin 3-7 derajat Celcius di kawasan lembah sangat terpencil dengan kelembapan tinggi di Puncak Jaya pada ketinggian 3.900-4.300 mdpl.
Dalam waktu sebulan, Mac dan tim mengumpulkan 140 foto serta 15 anjing liar, dengan memanfaatkan teknologi kamera intai infra merah dan kandang sebagai perangkap penelitian.
Dua tahun kemudian, tepat pada Agustus 2018, dilakukan penelitian tahap kedua selama satu bulan, di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika.
Pada 1 September 2020, hasil penelitian ini sudah dipublikasikan di jurnal internasional Amerika Serikat, yaitu Proceeding of the National Academy of Sciences (PNAS).
Penelitian fase kedua dilakukan untuk menganalisis hubungan genetik antara anjing bernyanyi dengan anjing liar lain, yang hidup di dataran tinggi Papua (highland wild dog).
Selama dua pekan memantau dengan perangkap berkamera (camera trap), tim peneliti berhasil merekam 18 ekor anjing bernyanyi.
Selain itu, penelitian juga dilakukan dengan mengumpulkan sampel darah, kulit, dan rambut anjing untuk menganalisis ciri fisik, demografi, dan perilaku dari hewan tersebut.
Hasil penelitian menemukan bahwa anjing bernyanyi memiliki sejumlah kemiripan dengan anjing liar pegunungan Papua, serta dengan dingo yang berhabitat di Australia.
General Superintendent of Highland Reclamation and Monitoring PTFI, Pratita Puradyatmika mengungkapkan, spesies anjing bernyanyi bisa ditemukan di hampir seluruh area tambang Grasberg PTFI. Tak ayal, sejumlah karyawan yang bekerja di area Grasberg juga kerap menyaksikan keberadaan kawanan anjing ini dari jarak dekat.
"Anjing bernyanyi sama sekali tidak menyerang manusia. Sebaliknya, kawanan anjing ini beberapa kali ditemukan dapat hidup dan beraktivitas berdampingan dengan para karyawan kami yang bekerja di sekitar tambang terbuka," kata Pratita.
Ciri-ciri Anjing Bernyanyi
Anjing bernyanyi yang terkenal di dataran tinggi Papua memiliki ciri rambut tebal, ukuran relatif lebih kecil dibandingkan anjing liar lainnya, yakni tinggi sekitar 45 cm untuk anjing jantan dan 37 cm untuk anjing betina, dengan panjang tubuh sekitar 65 cm untuk jantan dan 55 cm untuk betina.
Hewan "sakral" ini hidup dalam kawanan kecil, dengan jumlah sekitar dua hingga tiga ekor dalam satu kelompok.
Baca juga: Kenapa Anjing Selalu Menjulurkan Lidahnya? Ternyata Ini Loh 4 Alasannya
Hal lain yang juga membedakan anjing ini dengan anjing lainnya adalah, caranya berkomunikasi yaitu bukan dengan menggonggong melainkan hanya melolong.
Lolongan unik yang menyentuh melodi rendah hingga tinggi inilah yang membuat masyarakat setempat menyebut hewan ini dengan nama "anjing bernyanyi".
Rektor Universitas Cendrawasih (Uncen), Dr Apolo Safanpo mengemukakan bahwa Uncen masih akan melanjutkan penelitian fase ketiga pada Mei 2021.
"Mengingat masih ada banyak hal yang perlu kami dalami, seperti taksonomi, perkembangbiakan, kehidupan sosial, perannya dalam rantai makanan, dan hal lain yang bisa menjadi dasar ilmiah bagi penentuan status perlindungan anjing bernyanyi,” kata Apolo.
Jauhnya lokasi dan berbagai keadaan geografis di lokasi penelitian menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh tim peneliti saat merampungkan penelitian ini.
“Salah satu tantangan terbesar kami dalam memaksimalkan penelitian ini adalah lokasi penelitian yang terpencil dengan medan perjalanan yang begitu ekstrem dan sulit ditempuh dengan kendaraan biasa. Untuk itu, kami bekerja sama dengan PT Freeport Indonesia yang mendukung penelitian ini dengan menyediakan berbagai fasilitas pendukung dan transportasi, terutama untuk membantu kami mencapai medan yang begitu sulit ditempuh di area kerja PTFI,” ujarnya.
Artikel Menarik Lainnya:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: