INDOZONE.ID - Bayangin deh, lagi asyik jalan-jalan di pelosok Sumatera, tiba-tiba nemu warung makan dengan tulisan gede “Warung Tegal”. Atau lagi di pedalaman Kalimantan, eh ada tetangga ngomong pake logat Yogya yang halus banget.
Bahkan di desa terpencil di Papua, kamu bisa ketemu sama paguyuban Jawa yang masih ngelestarikan tradisi Jawa mereka.
Pernah kepikiran nggak sih, kenapa orang Jawa ada di mana-mana? Apa ini cuma soal orang Jawa suka merantau, atau sebenarnya ada cerita besar di balik itu? Nah, jawabannya adalah karena ada kebijakan besar yang udah berjalan lebih dari 100 tahun, yaitu transmigrasi.
Program ini bukan cuma mindahin orang dari Jawa ke luar Jawa, tapi ini cerita tentang ketimpangan penduduk, strategi penjajahan Belanda dulu, ambisi nasional, dan efeknya yang masih terasa sampai sekarang. Ngomongin sejarah transmigrasi, semuanya dimulai dari zaman kolonial Belanda.
Baca Juga: Pulau Kalimantan Diprediksi akan Mendekati Pulau Jawa 10 Juta Tahun Lagi, Benarkah?
Jadi, akhir abad ke-19, Pulau Jawa makin padat penduduknya, lahan pertanian makin sempit, sementara di luar Jawa kayak Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, lahannya luas banget tapi kurang dimanfaatin.
Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda mulai mindahin penduduk Jawa ke luar Jawa. Program ini dikenal sebagai kolonisasi, yang jadi cikal bakal transmigrasi.
Ada dua pandangan soal kenapa Jawa bisa padat banget. Yang pertama, menurut Johan Mauritz Mohr, seorang ahli geologi Belanda, ini terjadi secara alami karena tanah Jawa itu subur dan iklimnya enak buat bercocok tanam. Jadi, orang-orang lebih pilih tinggal di Jawa.
Tapi, ada pendapat lain dari Charles Alfred Fisher, seorang ahli geografi Inggris, yang bilang kalau ini sebenarnya karena kebijakan kolonial Belanda yang fokus banget bangun segala fasilitas di Jawa, mulai dari pendidikan, ekonomi, sampai infrastruktur transportasi dan irigasi. Jadi, ini lebih ke ketimpangan pembangunan.
Baca Juga: Kisah Mistis Gunung Prau: Misteri Pendakian yang Diteror Suara Gending Jawa dan Sosok Misterius
Selain itu, ternyata ada juga unsur tanggung jawab moral Belanda lewat yang namanya Politik Etis. Mulai booming sekitar tahun 1901, politik ini ngasih tiga program utama, yaitu migrasi, irigasi, dan edukasi.
Nah, migrasi ini yang jadi awal dari kolonisasi. Program resmi kolonisasi mulai tahun 1905, ketika 155 keluarga dari Jawa Tengah dipindahkan ke Lampung, Sumatera.
Selama program ini berjalan, angka penduduk yang dipindahkan pun terus bertambah. Dari 1905 sampai 1921, ada sekitar 19.572 orang yang dipindahkan. Jadi, dari sinilah cerita transmigrasi di Indonesia mulai berkembang.
Zaman kolonial Belanda dulu, mereka fokus banget sama sektor perkebunan buat ningkatin ekspor komoditas kayak karet, kelapa sawit, dan tembakau. Buat narik minat orang Jawa supaya mau pindah ke luar Jawa, pemerintah Belanda janji kasih insentif seperti lahan, rumah, dan uang.
Tiap keluarga dikasih dana besar (di masa itu), totalnya bisa sampai 300 golden—kalau dirupiahkan sekarang bisa sekitar Rp15-24 juta. Tapi, kenyataannya jauh dari janji manis.
Banyak keluarga yang pindah malah menghadapi hidup susah, dari infrastruktur yang buruk, layanan kesehatan dan pendidikan minim, sampai diskriminasi dari pengawas perkebunan yang mayoritas orang Eropa. Meski begitu, pada tahun 1940, lebih dari 200.000 orang Jawa sudah dipindahkan ke Sumatera.
Selain dampak ekonominya perkebunan jadi berkembang, terutama waktu krisis ekonomi tahun 1930-an program kolonisasi juga bikin ketegangan sosial. Pendatang sering bentrok sama masyarakat adat yang merasa kehilangan hak atas tanah mereka.
Belum lagi, pemerintah sering bikin desa khusus buat pendatang, yang ujung-ujungnya memperparah jarak sosial antara pendatang dan penduduk lokal. Dari segi ekonomi, meski pendatang bantu kerja di sektor perkebunan, keuntungan besar malah dinikmati perusahaan-perusahaan Eropa.
Sistem ini bikin petani lokal lebih fokus ke komoditas ekspor daripada ketahanan pangan, jadi makin bergantung sama pasar global. Dan jangan lupa, kolonisasi ini juga punya dampak buruk buat lingkungan.
Setelah merdeka, pemerintah Soekarno lanjutkan program transmigrasi sebagai solusi buat padatnya penduduk di Jawa, Madura, dan Bali.
Soekarno pertama kali bahas ide "transmigrasi" di tahun 1927, dan mulai resmi dijalankan sejak 12 Desember 1950 (yang sekarang diperingati sebagai Hari Bakti Transmigrasi).
Pemerintah bikin target ambisius: mindahin 31 juta orang dari Jawa dalam 35 tahun, yang kemudian naik jadi 49 juta orang di tahun 1951. Tapi, nyatanya nggak semua berjalan mulus.
Minimnya anggaran bikin transmigrasi nggak optimal, dan banyak transmigran kesulitan bertahan hidup karena fasilitas seperti irigasi, jalan, layanan kesehatan, dan pendidikan sangat minim.
Menurut catatan Howard Dick, kondisi ini jadi tantangan besar di dekade 1950-an. Pada tahun 1960-an, program transmigrasi makin diseriusin sebagai bagian dari rencana besar pembangunan nasional.
Pemerintahan Soekarno nggak cuma mau ngurangi kepadatan penduduk di Jawa, tapi juga pengin bikin transmigrasi jadi proyek buat menyatukan bangsa alias nation and character building.
Bahkan, Soekarno bilang kalau transmigrasi itu bagian dari revolusi sosial untuk mencapai keadilan ekonomi di seluruh Indonesia. Tahun 1960, lahirlah Perpu yang bikin aturan soal pelaksanaan transmigrasi.
Tujuannya? Biar rakyat lebih makmur, aman, dan makin solid dalam persatuan. Tapi di balik itu, ada juga motif politik.
Soekarno pengin daerah-daerah di luar Jawa tetap dalam genggaman negara, terutama wilayah-wilayah yang rawan pemberontakan kayak Sumatera dan Sulawesi, yang sempat jadi basis PRRI dan Permesta.
Sayangnya, di lapangan sering timbul masalah. Penduduk lokal merasa hak mereka atas tanah tradisional jadi terancam. Belum lagi, konflik sama masyarakat adat serta kerusakan hutan akibat pembukaan lahan yang masif.
Transmigrasi era Soekarno juga membawa tantangan sosial dan ekonomi. Pendatang sering kesulitan adaptasi sama lingkungan baru yang beda banget dari kampung halaman mereka.
Banyak yang harus berjuang dengan kondisi tanah yang nggak subur, minimnya bantuan pemerintah, dan sulitnya akses ke pasar. Setelah Soekarno tumbang, giliran Soeharto ngegas program ini di era Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Transmigrasi jadi makin masif. Antara 1979–1984, lebih dari 2,5 juta orang dipindahkan ke luar Jawa.
Fokusnya waktu itu buat ngembangin wilayah-wilayah di luar Jawa sekaligus ngurangin penduduk di pulau yang udah super padat ini. Jadi gitu gaes kenapa orang jawa ada dimana-mana.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Youtube