INDOZONE.ID - Setiap Malam Satu Suro, Keraton Kasunanan Surakarta menyelenggarakan kirab pusaka, sebuah tradisi yang telah berlangsung selama ratusan tahun.
Salah satu bagian yang paling dinanti dalam kirab ini adalah kehadiran kerbau bule, yang bertindak sebagai cucuk lampah atau penuntun kirab pusaka.
Masyarakat umum sering kali menyebut kerbau-kerbau bule ini sebagai Kiai Slamet, meskipun sebenarnya mereka adalah keturunan dari kerbau bule pertama yang dipelihara oleh Sunan Pakubuwono II sejak tahun 1742.
Baca Juga: Kisah Awal Mula Tradisi Berkurban di Idul Adha, Begini Cerita Lengkapnya!
Sejarah Kerbau Bule dan Kiai Slamet
Nama Kiai Slamet sebenarnya lebih dikenal sebagai nama sebuah pusaka yang memiliki kisah tersendiri. Menurut cerita, Kiai Slamet adalah sebuah pusaka yang diperoleh Sunan Pakubuwono II saat beliau bertapa di Ponorogo. Namun, hingga kini, bentuk dan jenis pusaka tersebut masih menjadi misteri, menambah keunikan dan kekramatan tradisi ini.
Kisah kerbau bule di Keraton Mataram bermula dari peristiwa Geger Pecinan pada tahun 1742, di mana terjadi serangan besar dari Mas Garendi dan pasukan gabungan Tionghoa-Jawa yang memaksa Pakubuwono II untuk mengungsi ke Ponorogo. Dalam pelariannya, Pakubuwono II bertemu dengan Kiai Ageng Muhammad Besar, pemimpin pondok pesantren Tegalsari. Dalam pertapaannya, Pakubuwono II mendapatkan wangsit tentang pusaka bernama Kiai Slamet, yang harus dirawat dengan bantuan kerbau bule.
Adipati Ponorogo saat itu, Suroboto, kemudian menemukan kerbau bule dan memberikannya kepada Pakubuwono II. Versi lain dari babad Solo yang ditulis oleh Raden Mas Said menyebutkan bahwa kerbau bule tersebut sebenarnya adalah hadiah dari Kiai Hasan Besari, cucu Kiai Ageng Muhammad Besar.
Setelah mendapat bantuan dari VOC dan pasukan Cokroningrat IV dari Madura, Pakubuwono II berhasil merebut kembali Keraton Kartosuro pada November 1742.
Baca Juga: Mengungkap 16 Kata-kata Bijak Soekarno yang Terbukti Jadi Kenyataan!
Perpindahan Keraton ke Surakarta
Namun, karena Keraton Kartosuro dianggap telah kehilangan wahyu atau kewibawaannya setelah diduduki lawan, Pakubuwono II memutuskan untuk memindahkan keraton. Untuk menemukan lokasi baru, kerbau bule yang dibawa dari Ponorogo dibiarkan berkeliaran dan akhirnya memilih Desa Solo sebagai tempat yang cocok.
Pakubuwono II kemudian membangun keraton baru di desa tersebut, yang sekarang dikenal sebagai Keraton Kasunanan Surakarta. Pembangunan keraton ini selesai pada tahun 1745, yang juga ditetapkan sebagai tahun jadi Kota Surakarta.
Baca Juga: Rumor Presiden Soekarno Masih Hidup, Benarkah? Ini Fakta-Faktanya!
Tradisi Kirab Pusaka
Sejak saat itu, kerbau bule menjadi simbol penting dalam tradisi kirab pusaka Keraton Kasunanan Surakarta.
Setiap Malam Satu Suro, kerbau bule diarak sebagai bagian dari ritual yang diyakini membawa keberuntungan dan menjaga kewibawaan keraton.
Masyarakat pun berbondong-bondong menyaksikan kirab ini, bahkan berebut kotoran kerbau yang dianggap memiliki keberkahan.
Kepercayaan dan Kontroversi
Meski kerbau bule sering disebut sebagai Kiai Slamet, sebenarnya mereka adalah keturunan dari kerbau bule pertama yang dipelihara sejak 1742. Kiai Slamet sendiri, menurut beberapa sumber, adalah nama pusaka yang diperoleh Pakubuwono II selama pelariannya. Beberapa percaya bahwa pusaka ini berbentuk tombak dan harus dirawat dengan bantuan kerbau bule. Ada juga yang mengatakan pusaka tersebut dimasukkan secara gaib ke dalam tubuh kerbau bule pertama dan diwariskan secara turun-temurun.
Namun, hingga kini, pihak Keraton tidak pernah secara resmi mengungkap wujud asli dari pusaka Kiai Slamet. Misteri ini menambah daya tarik dan kesakralan tradisi kirab pusaka setiap Malam 1 Suro. Apakah pusaka ini benar-benar ada atau hanya mitos untuk memperkuat kewibawaan keraton, tetap menjadi pertanyaan yang belum terjawab.
Baca Juga: Misteri Makam Mbah Astra Leksana: Pendiri Desa Karangsambung Kebumen, Konon Dilindungi Pohon Keramat
Malam satu Suro di Surakarta selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu, terutama dengan kirab pusaka dan kehadiran kerbau bule yang sakral.
Tradisi ini tidak hanya memperkaya budaya lokal, tetapi juga menjadi cerminan dari sejarah panjang dan kepercayaan masyarakat terhadap simbol-simbol keramat.
Kerbau bule, meski dikenal sebagai Kiai Slamet, tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita besar Keraton Kasunanan Surakarta dan warisan budaya yang terus dilestarikan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: YouTube @Embara Lensa