Jumat, 18 APRIL 2025 • 21:25 WIB

Tan Jin Sing: Bupati Tionghoa yang Mengguncang Tradisi Yogyakarta

Author

Tan Jin Sing adalah seorang Kapitan Cina yang fasih berbagai bahasa dan cerdik membaca situasi politik.

INDOZONE.ID - Tan Jin Sing adalah seorang Kapitan Cina yang fasih berbagai bahasa dan cerdik membaca situasi politik, memainkan peran kunci dalam kejatuhan Sultan Hamengku Buwono II saat Geger Sepehi 1812.

Di tengah konflik internal Keraton dan tekanan kolonial, ia menjadi perantara strategis antara pihak-pihak yang berseteru.

Lewat diplomasi rahasia dengan Inggris, Tan memfasilitasi penggulingan Sultan dan pengangkatan R.M. Surojo sebagai Sultan Hamengku Buwana III.

Bukan sekadar penerjemah, Tan adalah arsitek transisi kekuasaan yang menandai runtuhnya kedaulatan penuh Kesultanan Yogyakarta di hadapan kolonialisme modern.

Baca Juga: Ajian Welut Putih: Bikin Sakti Mandraguna, Tapi Ngeri Balasannya!

Pasca-penyerbuan Inggris ke Yogyakarta pada 1812, Tan Jin Sing, seorang kapitan Tionghoa, muncul sebagai tokoh kunci dalam politik keraton. Setelah mendukung penobatan Sultan Hamengku Buwana III, ia terlibat dalam pemilihan Patih Danurejo IV.

Sultan yang bimbang antara dua kandidat akhirnya mengutus Tan Jin Sing untuk meminta saran Pangeran Diponegoro, yang merekomendasikan Tumenggung Sumodipuro.

Peran ini menunjukkan pengaruhnya dalam lingkaran kekuasaan, meski ia berasal dari etnis minoritas.

Baca Juga: Kisah Mistis Dukun Beranak dan Sosok Ibu dan Bayi Misterius dari Desa Mekarwangi

Pengangkatan sebagai Bupati dan Kontroversi

Pada 6 Desember 1813, Tan Jin Sing membuat sejarah sebagai Bupati Tionghoa pertama di Yogyakarta, berkat desakan Raffles dari Inggris.

Gelar Raden Tumenggung Secodiningrat yang disandangnya mengejutkan banyak pihak, karena sejak Perjanjian Giyanti (1755), orang Tionghoa dilarang menduduki jabatan tinggi keraton.

Pengangkatannya dianggap melanggar tradisi, terutama karena Sultan HB I pernah menegaskan batasan hubungan keraton dengan komunitas Tionghoa untuk mencegah konflik.

Kekayaan dan Perubahan Status

Sebagai bupati, Tan Jin Sing melepas jabatan kapitan dan menerima tanah jabatan seluas 800 cacah di Lowanu dan 350 cacah di Bagelen Timur, termasuk wilayah perdagangan tenun Jono.

Ia juga menguasai properti strategis di utara keraton, yang disewakan untuk permukiman Tionghoa. Namun, kekayaan ini memicu kecemburuan.

Meski ia menyangkal mengambil keuntungan finansial, kedekatannya dengan Inggris membuatnya dituduh memicu ketegangan sosial.

Sentimen Anti-Tionghoa dan Dampaknya

Kontrak politik 1812 antara Inggris dan Kesultanan dinilai terlalu mengistimewakan orang Tionghoa, seperti hak hukum kolonial dan peran sebagai pemungut cukai.

Sentimen anti-Tionghoa meluas, memicu kekerasan seperti pembakaran gerbang tol di Prambanan dan pembantaian di Ngawi (1825) saat Perang Jawa.

Tan Jin Sing menjadi simbol ketegangan ini, meski ia sendiri mulai dijauhi komunitas Tionghoa karena dianggap meninggalkan adat.

Konflik Identitas dan Gaya Hidup

Konversi Tan Jin Sing ke Islam dan gaya hidupnya yang meniru bangsawan Jawa memperdalam jarak dengan komunitas Tionghoa. Ia memaksa tamu keraton bersembah, memberi gelar bangsawan pada istri keduanya, dan menampilkan penari Bedhaya di rumahnya.

Sikap ini dianggap arogan, sementara elite keraton memandangnya sebagai penyimpangan. Ia terjebak dalam dilema identitas: tidak sepenuhnya diterima sebagai Jawa maupun Tionghoa.

Kemunduran Pasca-Kembalinya Belanda

Setelah Belanda kembali berkuasa (1816) dan wafatnya HB III, posisi Tan Jin Sing melemah. Sultan HB IV yang baru didominasi Pakualam I, yang tidak ingin ia terlibat dalam politik.

Residen Belanda Nahuys van Burg hanya memanfaatkannya sebagai informan, seperti dalam misi ke Kalimantan (1818-1819). Tan Jin Sing memilih netral, namun pengaruhnya terus menyusut seiring intrik keraton yang semakin rumit.

Akhir Hidup dan Warisan

Menjelang akhir hayat, Tan Jin Sing terpaksa menjual tanahnya untuk melunasi utang. Ia meninggal pada 1831, mewariskan gelar kepada putranya yang wafat tanpa ahli waris (1857), sehingga tanahnya kembali ke keraton.

Keluarganya akhirnya diasimilasi kembali ke komunitas Tionghoa pada pertengahan abad ke-19. Lokasi bekas kediamannya di Kampung Ketandan menjadi simbol warisan budaya Tionghoa Yogyakarta.

Refleksi Tragedi

Kisah Tan Jin Sing mencerminkan kompleksitas identitas di era kolonial. Meski berjasa, ia terjepit antara tiga dunia: Tionghoa, Jawa, dan Eropa. Keberhasilannya sebagai bupati justru memicu kejatuhannya akibat sentimen politik dan budaya.

Nasibnya mengingatkan betapa kebijakan kolonial dan tradisi keraton seringkali menciptakan korban yang terasing, sekaligus menjadi cermin dinamika multikultural yang belum sepenuhnya harmonis.


Banner Z Creators.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Jurnal Sosial