Sejarah Protes Besar 1960-an di Yogyakarta: Warga Asli Gugat Para Pendatang yang Mengambil Peluang Kerja dan Hunian
INDOZONE.ID - Yogyakarta menjadi saksi dari serangkaian aksi protes besar yang dilakukan oleh warga asli kota Yogyakarta terhadap para pendatang pada 1960-an. Termasuk pelajar yang datang dari berbagai daerah.
Sebenarnya, pada era 1960-an, Yogyakarta semakin dikenal sebagai pusat pendidikan dengan kehadiran sejumlah universitas terkemuka.
Hal ini menarik banyak pelajar dari luar kota yang datang untuk menuntut ilmu. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak dari pelajar tersebut memilih untuk menetap dan bekerja di Yogyakarta setelah menyelesaikan studi mereka.
Kondisi ini menimbulkan keresahan di kalangan warga asli Yogyakarta yang merasa kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan fasilitas berkurang.
Baca Juga: Dari Yogyakarta ke Nusantara, Perkembangan Pesat Muhammadiyah di Indonesia pada 1918-1925
Awal ketegangan antara warga asli Yogyakarta dan para pendatang mulai meningkat ketika semakin banyak lahan dan rumah yang diambil alih oleh para pendatang. Para pendatang, yang sebagian besar adalah pelajar yang telah menetap, dianggap telah mengurangi kesempatan ekonomi dan sosial bagi masyarakat asli.
Hingga pada puncak ketegangan, warga asli Yogyakarta mengorganisir aksi protes besar yang melibatkan ratusan orang. Dalam aksi tersebut, beberapa peserta membawa senjata tradisional seperti golok dan benda-benda tajam lainnya sebagai bentuk simbol perlawanan.
Para pengunjuk rasa menuntut agar pemerintah lokal membatasi kehadiran para pendatang dan memberikan prioritas kesempatan kepada warga asli dalam hal pekerjaan dan pemukiman.
Protes ini menarik perhatian aparat keamanan, yang harus turun tangan untuk mengendalikan situasi agar tidak semakin memanas. Meskipun demikian, beberapa bentrokan kecil tidak dapat dihindari antara para pengunjuk rasa dan pendatang yang mempertahankan hak mereka untuk tinggal dan bekerja di Yogyakarta.
Baca Juga: Tragedi Semanggi, Protes Terhadap Sidang Istimewa MPR yang Berujung Tewasnya Warga Sipil
Aksi protes ini membawa dampak signifikan bagi kehidupan sosial dan ekonomi di Yogyakarta. Ketegangan antar kelompok masyarakat meningkat, dan beberapa usaha yang dimiliki oleh pendatang mengalami penurunan aktivitas akibat boikot dari warga lokal.
Situasi ini menimbulkan perdebatan panjang mengenai hak-hak masyarakat asli dan para pendatang di Yogyakarta.
Seorang saksi mata yang menyaksikan langsung kejadian tersebut mengatakan,
"Kami merasa hak-hak kami sebagai warga asli diambil oleh para pendatang yang datang ke sini, belajar, dan kemudian menguasai pekerjaan dan lahan yang seharusnya menjadi milik kami. Protes ini adalah cara kami untuk menyuarakan kegelisahan tersebut."
Dalam upaya menyelesaikan konflik ini, pemerintah setempat berusaha menenangkan situasi dengan mengadakan mediasi antara perwakilan masyarakat asli Yogyakarta dan kelompok pendatang.
Berbagai solusi ditawarkan, termasuk kebijakan pembatasan kepemilikan lahan bagi non-pribumi dan prioritas pekerjaan tertentu bagi warga asli. Namun, ketegangan masih terus terjadi hingga beberapa tahun kemudian.
Konflik yang terjadi pada tahun 1960-an ini mencerminkan dinamika sosial yang kompleks di Yogyakarta sebagai kota yang terus berkembang. Meskipun ketegangan telah mereda, jejak dari aksi protes ini masih membekas dalam memori kolektif warga Yogyakarta, mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan antara tradisi lokal dan modernitas di kota yang dikenal sebagai pusat budaya dan pendidikan tersebut.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: E-journal Undip