Minggu, 17 NOVEMBER 2024 • 07:45 WIB

Krisis Malaise 1929: Bencana Ekonomi yang Justru Membakar Semangat Perjuangan Bangsa

Author

Krisis ekonomi dunia menjadi tragedi yang terjadi setelah Perang Dunia I berakhir dan menyebabkan berbagai negara terpuruk.

INDOZONE.ID - Krisis ekonomi dunia menjadi tragedi yang terjadi setelah Perang Dunia I berakhir dan menyebabkan berbagai negara terpuruk dalam pembangunannya. Krisis ekonomi dunia atau yang disebut juga sebagai Krisis Malaise terjadi pada tahun 1929.

Malaise menjadi malapetaka besar bagi dunia, karena menimbulkan berbagai permasalahan, seperti kemiskinan, pengangguran, kelebihan produksi, terhambatnya pemberian kredit, dan terganggunya perputaran uang tunai di dunia. Keadaan tersebut menyebabkan gangguan di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Baca Juga: Nasib Permaisuri dan Selir Kaisar Qianlong, Potret Gila Wanita Pejabat Tiongkok di Era Dinasti Qing

Indonesia Sebelum Krisis Malaise

Keadaan ekonomi Indonesia pada awal abad ke-20 (sekitar tahun 1900-an awal) sedang mengalami perkembangan ekonomi karena hasil ekspor yang meningkat.

Terjadi perkembangan bidang produksi ekspor, baik dalam bidang pertanian, pertambangan, serta perluasan kegiatan perkebunan, yang tidak hanya meliputi perusahaan-perusahaan Eropa saja, tetapi juga pada perusahaan-perusahaan kecil masyarakat Bumiputera.

Sedangkan, dalam bidang politik, sebelum peristiwa Malaise orang-orang Indonesia sudah memiliki pengalaman berorganisasi yang mengarah kepada pergerakan nasional, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Baca Juga: Mengenal Joglo Pencu di Kudus, Rumah Adat dengan Keunikan Tanpa Paku

Guncangan Ekonomi dan Politik Indonesia Selama Masa Krisis Malaise

Indonesia mulai merasakan pukulan berat dari krisis tersebut sejak tahun 1929 sampai 1930. Hal ini karena mayoritas perkebunan milik Pemerintah Hindia-Belanda mengalami kejatuhan harga yang sangat signifikan.

Perkebunan-perkebunan yang terkena dampak krisis, diantaranya adalah perkebunan karet, tebu, tembakau, dan berbagai hal lainnya yang memiliki nilai ekspor. Penurunan harga produk ekspor berdampak kepada masyarakat Bumiputera.

Pemerintah Kolonial tidak memiliki banyak usaha untuk mengatasi hal tersebut, bahkan mereka dengan sengaja menekan para petani.

Dengan sikap demikian, mengakibatkan banyaknya pengangguran di kalangan pekerja Bumiputera, sehingga bermunculan tindakan yang radikal, seperti kerusuhan dan kejahatan.

Meningkatnya pengangguran di kalangan pekerja, kemudian dimanfaatkan oleh organisasi pergerakan nasional, terutama yang berhaluan komunis dan organisasi para buruh, seperti Serikat Buruh Kereta Api atau Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP), Serikat Buruh Percetakan, Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), Personeel Fabriek Bond (PFB), dan Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB).

Organisasi-organisasi tersebut berusaha untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi dan politik yang selalu mendapatkan hambatan-hambatan dari Pemerintah Hindia-Belanda.

Hal tersebut menjadikan persatuan di antara buruh semakin kuat, sehingga menyebabkan munculnya berbagai pemberontakan dan aksi politik melalui organisasi pergerakan nasional

Semangat Perjuangan Nasional di tengah Krisis Malaise

Gerakan buruh di Indonesia berkaitan erat dengan gerakan-gerakan partai politik. Keduanya saling memperjuangkan kepentingan bersama yang masing-masing cenderung menentang kapitalisme dan imperialisme dalam bidang ekonomi maupun politik.

Dengan banyaknya aksi-aksi politik yang mewarnai Krisis Malaise di Indonesia sekitar tahun 1930-an, banyak perjuangan dari para tokoh pergerakan nasional yang menuntut Pemerintah Hindia-Belanda.

Organisasi pergerakan nasional yang vokal terhadap perlawanan kaum petani dan pekerja (buruh), diantaranya adalah Partai Nasional Indonesia dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Adapun Partai Indonesia (Partindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) sebagai organisasi pergerakan yang menentang keras Pemerintah Kolonial dengan asas non-kooperatifnya.

Sikap keras dari organisasi pergerakan tersebut melahirkan gaya baru dalam wajah politik ekonomi bangsa Indonesia. Dari yang sebelumnya bersifat non-koperasi, kemudian menjadi “koperasi modern” atau yang sifatnya perbandingan dengan ikut sertanya dewan-dewan Hindia-Belanda, seperti yang ditempuh oleh Budi Utomo.

Selain itu, Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia juga turut memberikan kobaran semangat kepada para kaum petani dan kaum buruh yang tertindas oleh kebijakan keras dari Pemerintah Hindia-Belanda.

Sarekat Islam yang pada dasarnya bukan organisasi politik, akhirnya juga mengarah ke dalam bidang politik yang dianggap sebagai reaksi dari kapitalisme yang hadir dan perjuangan terhadap penjajahan.

Partai Komunis Indonesia atau PKI juga membantu memperbaiki nasib kaum petani dan buruh dengan memantik percobaan pemogokan kerja.

Kedua organisasi ini saling memperebutkan tempat dengan menyusup ke dalam kaum petani dan buruh yang terus melakukan pemogokan, baik itu yang bersifat menuntut hak maupun yang memperjuangkan kemerdekaan.

Tidak hanya organisasi yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pula organisasi dan komunitas lain yang memberikan bantuan kepada pengangguran, seperti Badan Penolong Pengangguran di Surakarta yang berdiri pada tahun 1932.

Badan ini mendapat banyak simpati kaum pergerakan nasional. Selain itu, juga ada komunitas Tionghoa di Cirebon, salah satunya adalah Tiong Hoa Keng Kie Hwee (THKKH) yang merupakan organisasi buruh.

THKKH bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum buruh Tionghoa, yang secara khusus berkaitan dengan masalah upah (gaji), tunjangan pensiun, kematian, dan kesejahteraan keluarga.

Melalui hal tersebut, menggambarkan kesatuan komunitas dan menunjukkan bahwa adanya ketidakmampuan dari Pemerintah Kolonial untuk dapat menjamin kehidupan masyarakat kelas sosial menengah dan ke bawah selama masa Krisis Malaise.

Respon Pemerintah Hindia-Belanda terhadap Aksi Organisasi Pergerakan Nasional

Ketidakcakapan Pemerintah Hindia-Belanda dalam membantu menangani Malaise yang terjadi menimbulkan krisis kepercayaan rakyat. Protes kepercayaan rakyat atas kekecewaan kaum petani dan buruh mempercepat gerakan nasional ke arah yang lebih radikal dan revolusioner.

Sayangnya, protes yang dilakukan tersebut, termasuk oleh organisasi pergerakan nasional malah mendapat sikap represif dari Pemerintah Kolonial. Sikap represif tersebut berupa pemberhentian paksa rapat-rapat yang digelar dan penangkapan terhadap beberapa tokoh pimpinan partai, seperti Partindo dan PNI Baru.

Pemerintah Kolonial yang pada masa tersebut dipimpin oleh Gubernur Jenderal de Jonge, menjadi sangat reaksioner terhadap kebebasan berpendapat bagi setiap orang.

Dirinya juga membuat Polietiekr Inteligent Dienst (PID) untuk mengatasi dan mengawasi organisasi yang dianggap dapat mengancam status quo Pemerintah Hindia-Belanda.

Melalui itu, Pemerintah Kolonial menggunakan strategi dengan melakukan beberapa hal, yakni: Pengawasan Organisasi dan Tokoh Pergerakan; Infiltrasi Agen-agen Intelijen; Penangkapan dan Pengasingan Tokoh Pergerakan; Sensor Media Cetak Pergerakan; serta Pengawasan terhadap Penduduk Asing.

Berdasarkan penjelasan mengenai Krisis Malaise yang terjadi di Hindia-Belanda (Indonesia), dapat disimpulkan bahwa krisis tersebut sangat memengaruhi kondisi perekonomian masyarakat yang menyebabkan banyaknya kasus kemiskinan dan pengangguran di kalangan kaum petani dan buruh.

Namun, Krisis Malaise juga menjadi peluang untuk meneruskan perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui aksi protes yang dilakukan oleh kaum petani dan buruh dalam perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.


Banner Z Creators Undip.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Jurnal Seuneubok Lada