Di Balik Peristiwa Geger Cilegon 1888: Pemberontakan Para Ulama Banten Melawan Hindia Belanda
INDOZONE.ID - Pemberontakan Petani Banten yang sering juga disebut dengan Geger Cilegon merupakan peristiwa pemberontakan tani yang terjadi pada 9 Juli 1888.
Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa gerakan sosial unrest atau kerusuhan sosial pada akhir abad 19.
Lantas, apa penyebab pemberontakan ini? Faktor apa saja yang hadir dalam Geger Cilegon? siapa saja tokoh yang memimpin? dan bagaimana rentetan pemberontakan petani Banten?
Latar belakang Geger Cilegon 1888
Banten, sebagai salah satu pelabuhan utama di wilayah barat Pulau Jawa, sering menjadi pusat persaingan ekonomi karena lokasinya yang strategis.
Mengutip "Pemberontakan petani Banten 1888" karya Kartodirdjo, S. (1984), setelah kemenangan Fatahillah atas Portugis di Sunda Kelapa, Banten memasuki era kekuasaan Islam di bawah Demak. Fatahillah kemudian menunjuk putranya, Maulana Hasanuddin, sebagai pemimpin Banten untuk mempertahankan pemerintahan.
Seiring berjalannya waktu, Banten berkembang menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam, terutama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, yang meningkatkan aktivitas perdagangan di Selat Sunda.
Baca Juga: 6 Peristiwa Perang yang Tidak Memakan Korban Jiwa dengan Kisah Unik dan Nyeleneh
Puncak kebangkitan Kerajaan Banten terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Sultan ini berupaya meningkatkan perdagangan, memperkuat armada laut, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara asing serta kerajaan Islam di Indonesia untuk melawan VOC di Batavia.
Namun, sejarah mencatat bahwa masyarakat Banten melakukan perlawanan keras terhadap penjajah Belanda, yang mengakibatkan dua kehancuran kerajaan Banten.
Pertama, pada masa Sultan Ageng Tirtayasa karena kolusi anaknya, Sultan Haji, dengan Belanda.
Kedua, pada masa Sultan Aliyuddin II (1803-1808) di bawah pimpinan Herman Williem Daendels.
Pemberontakan Petani Banten 1888 atau Geger Cilegon 1888 dipicu oleh kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan, di mana para petani Banten merasa tertindas dan tidak adil oleh pemerintah kolonial Belanda.
Baca Juga: Mengenal 'Setan Nganji', Mitologi Terkenal yang Berasal dari Banten!
Para petani ini juga terpengaruh oleh keyakinan eschatologis yang membuat mereka merasa sebagai wakil Mahdi yang akan membawa keadilan dan kekayaan bagi mereka.
Pada tahun 1888, perjuangan rakyat Banten dipimpin oleh para ulama dengan semangat fi Sabilillah, tercatat dengan empat pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda.
Pemberontakan pertama pada 1850 dipimpin oleh Haji Wakhia.
Pemberontakan kedua pada 1888 yang dilakukan oleh mayoritas petani di bawah H. Wasid dan Jaro Kajuruan.
Perlawanan ketiga terjadi pada 13 November 1926 di Menes, Kabupaten Pandeglang.
Sementara pemberontakan terakhir pada tahun 1945 menandai kemenangan akhir melawan penindasan kolonialisme.
Baca Juga: Peristiwa Tiga Maret, Pemberontakan Militan Islam di Sumatra Barat Terhadap Pemerintah
Faktor-faktor pemicu Geger Cilegon 1888
Dalam bukunya, Kartodirdjo mengeksplorasi dinamika sosio-ekonomi di Banten pada awal abad ke-19 yang menjadi pemicu utama pemberontakan.
Meskipun Banten terletak di sepanjang pantai, sektor pertanian menjadi tulang punggung ekonomi kerajaan. Sistem kepemilikan tanah, khususnya, memiliki dampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat, di mana Sultan memberikan tanah dalam berbagai bentuk kepemilikan seperti kawargaan, kanayakan, dan pangawulaan kepada berbagai pihak.
Namun, masa pemerintahan Daendels dan Raffles membawa perubahan signifikan dalam hal pemilikan tanah dan pajak, yang menyebabkan ketegangan antara anggota keluarga kerajaan dan pejabat dengan pemerintah kolonial.
Peran petani atau rakyat jelata juga menjadi fokus, di mana mereka seringkali bekerja di tanah pusaka sebagai abdi atau terlibat dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur publik.
Meskipun kerajaan dihapuskan pada tahun 1810, kondisi mereka tidak banyak berubah, bahkan beberapa dipaksa untuk bekerja di tanah milik aristokrat, menyebabkan penderitaan yang berkelanjutan.
Baca Juga: Peristiwa 5 Februari: Pemberontakan di Kapal Zeven Provincien di Lepas Pantai Sumatera
Perubahan sosial ekonomi lebih lanjut dipengaruhi oleh penetrasi ekonomi Barat dalam administrasi pemerintahan, yang menciptakan konflik antara sistem tradisional dan modern.
Perubahan dalam rekrutmen birokrat juga menciptakan ketegangan antara kaum bangsawan tradisional dan pemerintah kolonial.
Konflik internal ini tercermin dalam perjuangan tokoh seperti Kyai Haji Tubagus Ismail, yang memimpin pemberontakan bersama pemimpin agama.
Dalam konteks agama, Islam memainkan peran sentral dalam kehidupan masyarakat Banten, dengan pesantren dan tarekat menjadi pusat pendidikan dan organisasi keagamaan.
Tarekat seperti Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Syatariyah memainkan peran kunci dalam memobilisasi massa dan memperkuat semangat kebangkitan.
Analisis Kartodirdjo mengenai peran pesantren dan tarekat memberikan wawasan mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika sosial dan politik dalam pemberontakan tersebut.
Tokoh-tokoh pemimpin gerakan
1. Haji Abdul Karim
Dikenal juga sebagai Kyai Agung, meninggalkan Banten untuk menggantikan posisi gurunya di Mekkah, Ahmad Khatib Sambas, sebagai pemimpin tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, sehingga tidak terlibat langsung dalam pemberontakan.
Namun, ajaran-ajarannya yang memicu semangat pemberontakan terus hidup di kalangan masyarakat Banten. Meskipun fokus utamanya adalah pada aspek keagamaan seperti shalat, puasa, zakat, dan dzikir, aktivitas Haji Abdul Karim secara tidak langsung mengarahkan gerakan tersebut menuju tujuan politik.
Baca Juga: Mengenal Hantu Ririwa, Cerita Hantu yang Terkenal di Banten!
2. Kyai Haji Tubagus Ismail
Murid dari tarekat Haji Abdul Karim, juga memiliki peran penting dalam memobilisasi pemberontakan di Banten pada tahun 1883. Meskipun kehilangan pengaruh politik, Tubagus Ismail tetap dihormati di masyarakat karena latar belakang bangsawan dan reputasi keluarganya sebagai keturunan Wali Allah.
Sikap uniknya, seperti tidak mencukur rambut dan menolak makanan yang disajikan oleh tuan rumah, menarik simpati banyak orang dan membantu memperoleh dukungan untuk pemberontakan.
3. Haji Marjuki
Setelah melakukan kampanye jihad di Batavia dan sekitarnya, kembali ke Mekkah pada tahun 1888 dan mengecam pemberontakan yang dipimpin oleh Haji Wasid. Dia percaya bahwa pemberontakan harus diselenggarakan dengan matang dan menyeluruh.
Meskipun ada perselisihan antara Haji Marjuki dan Haji Wasid, Haji Marjuki memilih untuk kembali ke Mekkah karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan untuk terlibat dalam perjuangan di Banten.
4. Haji Wasid
seorang guru agama yang berpengaruh, juga terlibat dalam pemberontakan. Meskipun memiliki kecenderungan untuk bertengkar dan mudah marah, serta tertarik pada hal-hal mistis, Haji Wasid memainkan peran penting dalam memimpin gerakan pemberontakan di Banten, meskipun pada akhirnya dia juga terlibat dalam konflik dengan pemerintah kolonial karena masalah kebun istrinya.
Baca Juga: Mengenal Sosok Letnan Kolonel Untung Syamsuri, Tokoh Kunci dalam Peristiwa G30S/PKI
Rentetan peristiwa pemberontakan
Gerakan pemberontakan telah matang sejak tahun 1884, dengan pemimpin-pemimpinnya bersiap untuk bertindak dalam beberapa tahun berikutnya.
Acara-acara sosial seperti pesta pernikahan atau sunatan sering digunakan sebagai kedok untuk mengadakan pertemuan-pertemuan pemberontak. Pertemuan-pertemuan kecil, seperti majelis dzikir, sering dijadwalkan untuk merencanakan strategi pemberontakan.
Aktivitas anggota-anggota komplotan meningkat pesat pada tahun 1887, dengan pertemuan-pertemuan, perjalanan, dan penyebaran propaganda semakin intens.
Pertemuan besar diadakan pada bulan September 1887 selama sebuah pesta pernikahan, dihadiri oleh banyak pemimpin agama dan tokoh masyarakat, yang menjadi kesempatan bagi mereka untuk berdiskusi dan merencanakan strategi.
Persiapan pemberontakan terus berlanjut dengan latihan bela diri, pengumpulan senjata, dan penyebaran propaganda di luar Banten hingga pertengahan tahun 1888.
Pada Februari 1888, pemimpin-pemimpin pemberontakan secara rutin bertemu untuk merencanakan strategi, termasuk menentukan tanggal dimulainya pemberontakan.
Pada bulan April 1888, pertemuan besar diadakan di Beji, dimana kesepakatan akhir dibuat untuk memulai pemberontakan pada bulan Juli 1888.
Baca Juga: Sedikit Fakta dari Peristiwa Bom Mobil di Depan Kedubes Australia Jakarta
Persiapan intensif dilakukan menjelang pemberontakan, termasuk pembagian peran, pengumpulan perlengkapan, dan penandatanganan sumpah kesetiaan.
Pada bulan Juli 1888, pemberontakan meletus dengan serangan pertama yang dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail. Serangan-serangan berlanjut dengan pemimpin utama seperti Haji Wasid memimpin pasukan dalam serangan umum terhadap berbagai target pemerintah kolonial.
Meskipun demikian, pasukan pemberontak mengalami kesulitan karena tindakan balasan dari pemerintah.
Pertempuran-pertempuran terjadi di berbagai wilayah, termasuk Toyomerto, dimana pasukan pemberontak menderita kerugian besar.
Pemerintah melancarkan operasi militer untuk menumpas pemberontakan, mengirim pasukan untuk membersihkan daerah-daerah yang masih menjadi basis bagi para pemberontak.
Meskipun beberapa pemimpin pemberontakan berhasil ditangkap atau terbunuh, seperti Haji Iskak, Haji Madani, Haji Jahli, dan Agus Suradikaria, beberapa sisa-sisa gerombolan pemberontak masih berkeliaran.
Baca Juga: Kilas Balik Peristiwa Kudeta Pertama di Indonesia 3 Juli 1946, Kabinet Sjahrir II Sempat Diculik OposisiSafira
Tanda-tanda pemberontakan baru mulai muncul di pertengahan tahun 1889, menunjukkan bahwa perlawanan terhadap pemerintahan kolonial masih terus ada.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Direktorat Pai